Faisal Basri Sebut Bijih Nikel Bocor Ke China, Begini Penjelasan Kemenkeu
Oleh : Kormen Barus | Rabu, 20 Oktober 2021 - 10:30 WIB
Pakar Ekonomi Faisal H. Basri (Ist)
INDUSTRY.co.id, Jakarta, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam cuitan di akun Twitter pribadinya pada Senin (18/10), menjawab tudingan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut 3,4 juta ton ekspor bijih nikel dari Indonesia bocor ke China pada 2020 lalu. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang ekspor bijih nikel pada saat itu.
Terkait tudingan ini, Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah telah memberikan klarifikasi dan data secara transparan ke publik.
Data tersebut merujuk pada catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu yang mengaku bahwa memang ada ekspor bijih nikel sebanyak 3,6 ton pada 2020. Sementara, pada tahun ini ada sekitar 1 ton.
"Bahwa tahun 2020 tidak ada ekspor komersial, tetapi pengiriman sampel via pesawat sebanyak 3,6 ton," ungkap Yustinus seperti yang dikutip industry.co.id.
Bersamaan dengan data ini, pemerintah tidak membenarkan tudingan Faisal yang menyebut ada 3,4 juta ton ekspor bijih nikel ke China pada 2020. Ia memastikan Pemerintah Indonesia akan berkoordinasi dengan Pemerintah China untuk mengusut tudingan tersebut.
"Namun, pemerintah melalui @beacukaiRI akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Kepabeanan China untuk mendalami informasi ini," imbuh dia.
Lebih lanjut, Yustinus sepakat bahwa kebocoran ekspor bijih nikel tidak boleh terjadi. Sebab, pemerintah telah berkomitmen untuk melarang ekspor mineral mentah dan ingin melakukan hilirisasi di dalam negeri.
"Setelah ada larangan, mustinya tidak boleh ada yang melakukan ekspor untuk keperluan komersial," terang dia.
Sebelumnya, Faisal Basri mengatakan ada 3,4 juta ton ekspor bijih nikel Indonesia yang bocor ke China. Data ini, katanya, tercatat di General Customs Administration of China (GCAC).
"GCAC pada 2020 mencatat masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, yakni US$193,6 juta atau Rp2,8 triliun, lebih tinggi dari 2019," papar Faisal.
Menurutnya, kebocoran ini memberikan kerugian ratusan triliun bagi Indonesia. Sebab, kebocoran bukan terjadi kali ini saja, melainkan sudah lima tahun terakhir. (cnn).
Komentar Berita