Rancangan Peraturan Pelayaran Berpotensi Menimbulkan Persaingan Tidak Sehat
Oleh : Kormen | Jumat, 05 Februari 2021 - 07:03 WIB
Ilustrasi kapal (Ist)
INDUSTRY.co.id, Jakarta – Rencana pemerintah meluaskan kegiatan usaha pelayaran dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Pelayaran melalui keagenan (broker) mendapatkan kritikan dari para pakar. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, mengatakan bunyi pasal 44 dalam RPP sangat aneh, terutama yang mengatur soal agen umum dan pemilik kapal. “Ada yang tidak berimbang, namun bisnisnya disatukan dan dibolehkan untuk bersaing, hal ini yang agak repot,” kata dia dalam diskusi “Dampak Kebijakan Kelautan Kepada Industri Pelayaran Nasional,” yang diselenggarakan oleh channel9.id, Kamis, 4 Februari 2021.
Menurut Agus, keagenan dan kepemilikan kapal adalah dua sektor bisnis tidak imbang. Agen, kata dia, tidak perlu kapal hanya perlu kantor kecil. Sedangkan bisnis kapal harus memiliki kapal dan sumber daya manusia yang besar. “Bagaimana kita bisa mengembangkan industri pelayaran, jika regulasinya tidak mendukung,” tuturnya.
Agus menambahkan kegiatan usaha keagenan hanya administrasi. Tapi dalam RPP yang akan dikeluarkan pemerintah agen malah ikut mencari muatan kapal. Karena bisa berubah menjadi seperti calo bagi kapal asing.
Jika praktek broker ini berlangsung dalam bisnis pelayaran, kata Agus, bisa mematikan industri kapal dalam negeri. Karena itu harus ada upaya untuk memperbaiki agar RPP kembali seperti dulu lagi, agen adalah agen, tidak boleh mencari muatan.
Hal senada disampaikan pengamat industri pelayaran dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Tri Achmadi Ph.D. Menurut dia, rancangan beleid baru akan berdampak kepada bisnis yang tidak sehat dalam industri pelayaran. Karena menyatukan dua model bisnis yang entitasnya tidak sama. Negara seharusnya melihat transportasi sebagai infrastruktur, oleh karena itu urusan peraturan dan kebijakan harus diatur, tidak bisa di free market.
“Fungsi infrastruktur tidak berubah menjadi fungsi pertarungan pasar, jangan sampai kebijakan yang dibuat tersebut membuat pasar semakin bebas tidak terkendali,” kata Tri.
Keagenan hanya beroritentasi mencari keuntungan. Fungsi angkutan laut sebagai penghubung/konektifitas antar kepulauan menjadi hilang. Lantaran regulasi yang tidak mengikuti persyaratan-persyaratan persaingan usaha yang tidak sehat. Menurut Tri, institusi yang membahas regulasi harus benar-benar memperhatikan aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan mengenai persaingan usaha yang sehat.
Selalu benturannya adalah antara regulasi dan market, namun sebenarnya tidak terlalu relevan dalam industri angkutan laut. “Tidak bisa atas nama pasar bebas tidak bisa semua orang bisa masuk ke semua sektor, marketnya harus di lihat terutama dalam industri angkutan laut yang memiliki fungsi strategis,” tegasnya.
Sementara ahli hukum tata negara, Margarito Kamis, mengatakan adanya RPP tersebut tak lepas dari UU Cipta Kerja yang penyusunannya amburadul. Dalam pasal 14 A UU Cipta Kerja jelas mengatur, kapal asing bisa masuk dan beroperasi di Indonesia. Sepanjang Indonesia belum memiliki moda transportasi seperi kapal asing tersebut. Memang dalam pasal 14 A tidak diatur masalah keagenan, namun di pasal yang lain diatur.
“Jika kita melihat UU ini dalam konteks penyusunan RPP ada masalah besar yang kita hadapi dalam mengelola sumber daya alam kita, yakni persoalan nasional interest/kepentingan nasional, termasuk dalam mengatur industri angkutan laut,” tegas Margarito.
Seperti diketahui Pemerintah saat ini sedang merancang Peraturan Pemerintah (RPP) sektor Transportasi Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam draft RPP pemerintah memperluas kegiatan usaha pelayaran melalui keagenan (broker).
Berbeda dengan peraturan pemerintah sebelumnya yang membatasi kegiatan usaha keagenan pada perusahaan khusus yang bergerak dalam bisnis kapal. Dalam belied baru, perusahaan keagenan umum dapat melakukan kegiatan usaha perkapalan.
Komentar Berita