DPP Jaringan Pemerhati Industri Dan Perdagangan Minta Penerapan SVLK Wajib untuk Industri Hilir Kayu Dibatalkan
Oleh : Ridwan | Senin, 15 Juni 2020 - 18:10 WIB
Kayu di Hutan
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan meminta pemerintah untuk tidak menerapkan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara wajib untuk produk-produk industri hilir kayu seperti industri furnitur, wood working panel dan lainnya.
Pasalnya, sumber bahan baku dari industri hilir ini sudah jelas diperoleh sumbernya, dan dengan motoda lacak balak (chain of custody) yang sudah dimiliki dan dilaksanakan oleh Kementerian LHK.
"Kami sudah kirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta penerapan SVLK tidak wajib diberlakukan bagi industri hilir kayu," kata Lintong Manurung selaku Ketua DPP Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Dijelaskan Lintong, ada gerakan-gerakan yang sistematis, massif dan terkoordinir dengan intensif oleh segelintir kelompok masyarakat yang secara sadar atau tidak sadar akan mengganggu dan merusak kebijakan dan tatanan rivitalisasi industri lestari kayu untuj mewujudkan industri hilir kayu yabg tangguh dan berdaya saing kuat di pasar global.
Upaya-upaya tersebut dapat dilihat dari terbitnya Surat Terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia kepada Presidwn Republik Indonesia untuk Pencabutan atau Revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, tertanggal 20 Maret 2020.
Kemudian dilanjutkan denga Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepada Bapak Presiden RI No: S-269/MENLHK/PHPL3/4/2020 tanggal 21 April 2020 Tentang Laporan SVLK dan dukungan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Pada akhirnya Menteri Perdagangan menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2020 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Adapun usaha dan gerakan sistematis yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok tersebut anatara lain, Pertama, penerapan SVLK secara wajib kepada seluruh eksportir produk kayu termasuk ekspor hasil produk industri hilir kayu.
"Pelaksanaan SVLK cukup dilaksanakan hanya kepada industri hulu kayu yang menyediakan bahan baku untuk industri hilir saja," terang Lintong.
Kedua, penerapan SVLK terhadap 5000 perusahaan eksportir produk industri hilir kayu yang sebagian besar berskala kecil dan menengah, akan membebani dunia usaha tersebut dengan beban administrasi, procedure yang rumit dan beban biaya yang tinggi, yang diperkirakan akan membebani eksportir sebesar Rp 30.000.000 per perusahaan.
Ketiga, peningkatan penampang atau Luas Penampang (LP) untuk ekspor bahan baku kayu yang semula dari diameter lebih kecil dari 10.000 mm untuk kayu merbau dan LP lebih kecil dari 4.000 mm untuk non kayu merbau, diizinkan menjadi LP lebih kecil 15. 000 mm untuk semua jenis kayu.
Menurutnya, kebijakan ekpspor dengan meningkatkan luas penampang (LP) kayu menjadi 15.000 mm yang diusulkan oleh Men-LHK saat ini sama sekali tidak berpihak untuk membangun industri industri kayu didalam negeri, bahkan bertentangan dengan tujuan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat dan dunia usaha didalam negeri dengan akses yang lebih adil kepada sumber daya hutan.
"Kebijakan meningkatkan penampang kayu untuk ekspor ini pada akhirnya akan berakibat buruk kelangsungan hidup industri hilir kayu karena akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kayu didalam negeri," jelasnya.
Seharusnya, lanjut Lintong, Kementerian LHK lebih mempertimbangkan dan mendukung pertumbuhan ekspor produk-produk kayu dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi yang dihasilkan oleh industri hilir dibandingkan dengan ekspor kayu dengan nilai tambah yang lebih rendah di Industri hulu.
"Sampai saat ini kami belum melihat adanya kebijaksanaan dan terobosan Menter LHK yang mempersiapkan hutan untuk mendukung tersedianya kebutuhan industri hilir kayu yang berkelanjutan dan memingkatkan nilai tambah produk-produk industri hilir kayu didalam negeri, sebagaimana program hilirisasi industri yang berbasis mineral di Kementerian ESDM, Program Industri pasca panen untuk industri hilir pertanian di Kementerian Pertanian dan Program Peningkatan Nilai Tambah Industri Perikanan dan Garam di Kementerian KKP," papar Lintong.
Menurut Lintong, kebijakan-kebijaka dan program Kementerian LHK saat ini lebih dominan dan berorientasi kepada masalah pelestarian lingkungan hidup dan konservasi hutan.
"Peranan untuk mengembangkan industri kehutanan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi tertinggal, padahal negeri ini dengan luas hutan No. 9 terluas didunia, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi bangsa," tuturnya.
Oleh karena itu, untuk menghindari konflik kepentingan internal antara pengawasan lingkungan hidup dan pembinaan industri kehutanan, sudah saatnya sektor lingkungan hidup dipisahkan dari sektor kehutanan.
"Sektor lingkungan hidup bergabung dengan konversasi hutan, sedangkan sektor kehutanan dapat digabungkan dengan sektor pertanian atau sektor agraria," tutup Lintong.
Komentar Berita