Orang Yang Suka Pamer Harta Belum Tentu Gangguan Kesehatan Jiwa
Oleh : Hariyanto | Jumat, 22 November 2019 - 14:18 WIB
Pamer Harta
INDUSTRY.co.id - Jakarta – Belakangan ini Indonesia banyak dihebohkan dengan cerita public figure yang memamerkan hartanya masing-masing. Banyak juga yang mengaitkan aktivitas pamer tersebut sebagai gangguan kesehatan jiwa. Apakah benar aktivitas pamer secara terus yang dilakukan seseorang ada kaitannya dengan kesehatan gangguan jiwa? Kita simak informasi yang disampaikan oleh dr. Alvina, SpKJ, dokter ahli kesehatan jiwa Rumah Sakit Awal Bros Bekasi Barat berikut ini.
Menurut dr. Alvina, SpKJ, perilaku memamerkan harta yang dilakukan public figure belakangan ini belum tentu merupakan gangguan jiwa. Kita harus melakukan evaluasi secara lengkap terlebih dahulu sebelum menyimpulkan atau menegakkan diagnosis gangguan jiwa tertentu. “Untuk kasus public figure, bisa saja perilaku memamerkan harta adalah bagian dari pekerjaan mereka di dunia hiburan untuk meningkatkan popularitas mereka,” ujar dr. Alvina, SpKJ kepada INDUSTRY.co.id, Jumat (22/11/2019).
Bila sikap pamer seseorang dikaitkan dengan gangguan jiwa, tentunya perilaku tersebut akan disertai ciri-ciri lainnya seperti merasa diri yang paling penting; fantasi berlebih tentang kesuksesan, kekuatan, kepintaran, atau kecantikan; keyakinan bahwa dirinya unik, istimewa, dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang spesial tertentu; membutuhkan pengakuan berlebihan dan kurang empati; perilaku eksploitatif; iri pada orang lain atau yakin bahwa orang lain iri pada dirinya; serta adanya perilaku arogan dan nakal yang menetap dimulai pada masa dewasa muda. Jika ciri-ciri tersebut terdeksi, maka ada kemungkinan seseorang mengalami gangguan kepribadian narsisistik.
“Narsisistik adalah gangguan kepribadian dimana seseorang menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi,” ujar dr. Alvina, SpKJ. Untuk kebiasaan pamer yang termasuk gangguan kepribadian narsisistik, biasanya orang tersebut memiliki masalah dengan rasa kepercayaan diri dan rasa keberhargaan diri (self confidence dan self worth) sehingga butuh untuk terus menerus mendapatkan pengakuan.
Tujuan seseorang melakukan tindakan-tindakan yang termasuk dalam gangguan kepribadian narsisistik adalah untuk memperoleh kepuasan pribadi walaupun bersifat sementara, untuk memiliki teman atau relasi walaupun bersifat sementara, dan agar dirinya dianggap penting atau istimewa. Dampak narsisistik terhadap diri seseorang adalah bisa muncul gangguan jiwa lainnya seperti gangguan mood ataupun muncul masalah dalam relasi. Gangguan narsisistik ini biasanya dilakukan berulang karena memang sudah bagian dari ciri-ciri kepribadiannya.
Biasanya, orang yang mengalami gangguan narsisistik dapat sembuh dengan cara dirinya akan menyadari ada yang salah bila berulang kali mengalami kegagalan dalam relasi. “Orang yang mengalami gangguan narsisistik cenderung tidak menyadari bahwa dirinya mengalami narsisistik sampai ia mengalami masalah relasi yang berulang,” ujar dr. Alvina SpKJ.
Cara penyembuhan orang yang mengalami narsisistik dapat dilakukan dengan cara melakukan terapi khusus gangguan kepribadian narsisistik. Terapi yang digunakan adalah dengan psikoterapi yang jangka waktunya biasanya cukup lama dan terapi dari gangguan jiwa lainnya bila diperlukan.
Biasanya, orang lain akan merasa kesal karena orang dengan gangguan narsisistik ini cenderung merasa selalu benar, merasa yang paling penting, dan lain sebagainya. “Kita bisa menyikapi mereka dengan tidak terlalu larut dalam beradu argumen atau kritik,”ujar dr. Alvina, SpKJ. Bila seseorang yang mengalami gangguan narsisistik adalah orang yang dekat dengan kita, mungkin kita bisa menyarankan atau mengarahkan mereka dengan cara yang baik untuk datang berkonsultasi ke psikiater.
Ïntinya, kita harus lakukan evaluasi lengkap terlebih dahulu baru kita bisa membuat kesimpulan bahwa orang-orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau tidak. Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa semua yang tampak tidak biasa adalah seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Namun, jangan juga mengabaikan seseorang yang sudah merasa terganggu dan membutuhkan pertolongan profesional. “Hendaknya kita menjadi masyarakat yang suportif dan tidak menghakimi sehingga seseorang yang memang membutuhkan bantuan profesional tidak merasa malu untuk datang berkonsultasi,” ujar dr. Alvina, SpKJ.
Komentar Berita