Tanda Post Tradisi LuTianning
Oleh : Herry Barus | Rabu, 28 Agustus 2019 - 00:00 WIB
Pelukis-Lu Tianning (Foto Dok Industry.co.id)
INDUSTRY.co.id - Jakarta-Lu Tianning pelukis terkemuka kebanggaan Tiongkok karena berhasil mengembangkan seni lukis Tiongkok tradisional dan membawanya ke lingkup seni rupa dunia. Pada perkembangan seni rupa global sekarang ini, seni rupa tradsional memang sedang menarik perhatian.
Karena itu karya-karya Lu Tianning yang membawa tanda-tanda post tradisi, diakui tidak hanya di Tiongkok. Lukisan-lukisannya sudah dikoleksi museum dan lembaga pendidikan di berbagai negara, di antaranya Fukuoka Asian Art Museum di Jepang, National Museum, New Delhi di India, California University di Amerika Serikat, dan, Ecole Superieur des Beaux Arts di Paris, Prancis.
Karya- karya Lu akan dipamerkan di Yun Artified Community Art Center Jakarta, mulai 31 Agustus – 30 September 2019. Pameran ini dikuratori oleh kurator senior Jim supangkat.
Lu Tianning lahir di Nanjing, Provinsi Jiangsu pada 1959. Ia menempuh pendidikan seni rupa di tanah kelahirannya ini, di Jiangsu Academy of Fine Arts. Namun “guru” yang membawanya ke posisi sekarang adalah dataran tinggi Tibet.
Sudah di awal karirnya— pada 1987—Lu Tianning berkeliaran di dataran tinggi legendaris itu. Di sini ia melukis, bekerja, menulis, merenung, membangun persepsinya tentang seni, persepsinya tetang sejarah diri dan kehidupan, masyarakat. Sampai 1995 ia secara tetap kembali ke dataran tinggi Tibet untuk menajamkan sensibilitas. Sesudah itu ia harus membagi waktu karena menjelajahi juga berbagai kawasan lain di Tiongkok memburu pesona alam. Tentang dataran tinggi Tibet Lu Tianning mencatat,
Saya berangkat April 1987 karena merasa menemukan cahaya Buddha bersinar dari Istana Potala di pegunungan Lhasa yang diapit langit di ketinggian dan meja alam di bumi. Cahayanya yang kemilau di bawah langit biru dan pilar-pilarnya mendukung hati orang-orang dan saya merasa keharuan yang dalam, air mata saya mengalir. Di senja hari saya melihat Yaowangshan yang terhubung ke tiga menara di Gunung Potala berkibar di sisa-sisa cahaya senja. Ketika Istana Potala menjadi sillouhette di malam hari saya merasa ada penutup misterius melingkupi tubuh saya.
PengalamanTibet menyuntikkan kekuatan ke dalam hidup saya, kekuatan misterius. Tibet memberi saya ruang artistik tanpa batas dan mengenalkan sensibilitas untuk merasakan keindahan pada jiwa ketika hati terguncang kenangan, renungan dan ingatan tragis. Tibet adalah rumah independen bagi iman dan ruh saya. Tibet adalah kombinasi sempurna kebebasan spiritual dan kenyataan.
“Pandangan-pandangan Lu Tianning menandakan sensibilitas pada karya-karyanya bertumpu pada sipirit yang berkaitan dengan religiositas. Istana Potala di kota Lhasa yang terus menerus dilukisnya sepanjang karir, sering disebut “istana di atas awan.” Berdiri di puncak gunung, 12.139 meter dari permukaan laut, bangunan iconic yang berusia 1300 tahun ini memang punya pesona transendetal. Lu Tianning tidak hanya menangkap tanda-tanda ini. Ia merasakannya sebagai dorongan misterius yang mendasari karya-karyanya., “ujar Korator Jim Supangkat.
Kata-katanya yang mengisahkan pengalamannya menghadapi pegunugan Potala pada siang dan malam hari mnegaskan kaitan lukisan-lukisan Lu Tianning dengan seni lukis Tiongkok tradisional. Bahkan dengan tandanya yang paling tua, buku Shinjing (tentang puisi dan lagu) yang ditulis pada Abad ke-14 SM. Ada sebentuk kalimat yang berbunyi, “Mengamati sisi gunung yang diterangi matahari, dan, bayangannya di sisi gelap membangkitkan kesadaran tentang yin dan yang. “ Inilah catatan tertua tentang yin dan yang yang dikenal sebagai dasar filsafat Tiongkok.
Yin dan yang adalah tanda awal munculnya pemikiran tentang realitas yang berpangkal pada kesadaran tentang dualitas kenyataan. Tidak umum dikaji, tanda-tanda ini adalah gejala universal karena muncul di dunia Barat mau pun di dunia Timur. Dualitas ini keadaan kenyataan yang berlawanan seperti siang dan malam, terang dan gelap, bumi dan langit, jalan naik dan jalan menurun, panas dan dingin, laki-laki dan perempuan, dan, sebagainya. Di dunia Barat dikenal sebagai coincidentia oppositorum, yang muncul pada filsafat Yunani pra-Socrates sekitar 600 SM.
Seperti terjadi di dunia Barat yin dan yang mencerminkan perkembangan pemikiran yang berhenti melihat dualitas kenyataan sebagai kontradiksi. Yin dan yang diyakini sebagai gerak dinamis yang membuat dualitas kenyataan menuju kondisi harmonis. Pemahaman ini menunjukkan adanya kesatuan pada dualitas kenyataan yang di dunia Barat dikenal sebagai unity of the opposite. Di Barat mau pun Timur pemahaman ini melahirkan kesadaran tentang dunia metafisis yang tercermin pada perkembangan pemikiran tentang spirit dan kosmologi.
Pemikiran yang berkembang di Tiongkok percaya bahwa ada energie di balik gerak dinamis yin-yang . Enrgie ini disebut qi (baca: ch’i). Dalam pandangan kosmologis qi adalah asal mula alam semesta yaitu gerak khaotik yang menjadi stabil dan memunculkan sistem alam semesta. Di dunia Barat pada mulanya muncul kata logos (kata). Pada sepanjang perkembangan filsafat pra-socrates mencerminkan keyakinan bahwa semua kenyataan termasuk alam semesta bertumpu pada “kata” (peristilahan hasil identifikasi), nalar, dan, penjelasan.
Namun pada Abad ke-3 SM berkembang keyakinan bahwa logos adalah kekuatan yang mengatur semua aspek pada alam semesta dan merupakan dasar semua kebenaran. Ketika agama sudah berkembang logos dimaknai “Tuhan” yang diyakini sebagai kekuatan yang mengatur alam semesta dan merupakan sumber semua kebenaran
Pada Budhisme yang muncul pada Abad ke-6 M qi diyakini muncul dari meditasi yang berpangkal pada keyakinan tentang kesatuan harmonis dualitas kenyataan. Berada di ruang tengah dan bersifat gaib. Merupakan kekosongan karena hilangnya batas dualitas “ada” dan “tidak ada.” Di pusat trasendensi ini qi membawa manusia ke tingkat kesadaran dimana tidak ada lagi batas-batas kenyataan karena dunia material berubah menjadi dunia non-material. Inilah dunia metafisis.
Bertumpu pada keyakinan itu, pada Dinasti Sung (907–1368 M.) muncul lukisn pemandangan alam, tanda yang paling dikenal pada seni lukis Tiongkok tradisional. Dasarnya, keyakinan bahwa sensibilitas artistik bisa mengenali qi. Melalui ungkapan seni (lukisan dan puisi) sensibilitas artistik bisa menampilkan perbedaan qi pada lukisan empat musim—musim gugur, musim dingin, musim semi, dan, musim panas.
Di dunia Barat kesadaran tentang hubungan keindahan dengan gejala metafisik itu muncul pada Abad ke-15 CE melalui filosof Nikolaus dari Cusa (1401-1464). Dalam pemikiran Nikolaus Cusanus, ketika pemikiran rasional terbentur batas-batas rasionalitas, pemikiran manusia menerobos masuk ke alam metafisis dan menemukan realitas di dunia Tuhan. Penerobosan ini memunculkan rasa indah. Melayani dorongan ini manusia mencari media (bahasa ungkapan ) untuk megungkapkan perasaan ini.
Tanda-tanda itu menunjukkan, pada mulanya seni berada di lingkup agama dan berpangkal pada spirit yang berkaitan dengan religiositas. Merupakan gejala universal dan tercermin pada semua ungkapan seni dalam lingkup tradisi di dunia Barat mau pun Timur. Namun pada perkembangan sekarang ini, sudah menjadi pemahaman umum, bahwa agama tidak lagi memonopoli ungkapan seni.
Sejarah seni rupa yang sering dilihat sebagai induk pemahaman seni di dunia Barat, menemukan perubahan itu terjadi karena munculnya perkembangan baru yang menunjukkan kontradiksi perkembangan lama yang identik dengan tradisi. Keyakinan ini kemudian meluas ke seluruh dunia dan memunculkan pemahaman terdistorsi bahwa tradisi, sebagai lawan perkembangan baru, tidak lagi berkembang. Bahwa tradisi berada pada kondisi statis, tidak lagi menunjukkan perubahan-perubahan. Keyakinan ini memunculkan masalah karena di luar dunia Barat, perkembangan yang membawa perubahan menunjukkan sikap berbeda terhadap tradisi.
Lukisan-lukisan Lu Tianning menunjukkan dengan jelas distorsi pemahaman yang diyakini selama dua abad itu. Kesalahannya yang paling mendasar adalah persepsi yang melihat tradisi bersifat statis—membuat istilah “tradisional” yang penggunaannya tidak bisa dihindari sebenarnya mengandung ambiguitas. Lukisan-lukisan Lu Tianning yang mencerminkan keyakinan paling mendasar pada seni lukis Tiongkok—muncul pada Abad ke-14 SM—menunjukkan seni lukis Tiongkok tradisional masih berkembang dan sama sekali tidak statis.
Kaitan itu menunjukkan pula bahwa religiositas yang berinteraksi dengan sensibilitas membawa tanda-tanda keagamaan namun tidak harus dikaitkan dengan sesuatu agama (religion). Dari tanda ini bisa dibaca, perkembangan lukisan-lukisan Lu Tianning tidak menunjukkan kontradiksi dengan perkembangan seni lukis Tiongkok sebelumnya. Bila perkembangan Lu Tianning mau dikaitkan dengan gejala universal sekarang ini, di mana ungkapan seni tidak lagi dimonopoli agama, perkembangan Lu Tianning tidak bisa lain harus dilihat sebagai post tradisi.
Karyanya Gentle and Pleasant Breeze (2008) membawa tanda-tanda itu. Pada master piece berskala besar ini (276 x 560 cm) berbagai kecenderungan pada seni lukis Tiongkok tampil bersamaan. Di sini hukum perspektif menjadi relatif, dan, batas-batas realistik dan surealistik hilang. Prof. Liang Jiang dari Guangzhou Academy of Fine Arts, menyebut kecenderungan ini sebagai symphony, yang di dunia musik adalah penggabungan warna dan nada musik yang berbeda-beda dalam sebuah orkestrasi harmonis. Analognya adalah disambiguasi, yaitu upaya menghilangkan keraguan ketika menghadapi himpunan pemikiran/teks, karena perbedaan sudut pandang, perbedaan penggunaan istilah, atau, topik pembahasan yang berbeda.
Dibandingkan lukisan yang umum dikenal pada seni lukis Tiongkok, dataran tinggi Tibet pada lukisan-lukisan Lu Tiannning, lebih realistik. Kepekaan perspektif yang berhasil menampilkan sifat monumental Istana Potala, menunjukkan Lu Tianning melihat juga “istana di atas awan,” ini sebagai realitas. Persepsi ini bisa ditegaskan pada lukisan-lukisannya yang merekam kehidupan masyarakat di dataran tinggi Tibet. Dengan kepekaan skala yang memunculkan kontras, Lu Tianning menampilkan tanda-tanda kehidupan ini dari jarak jauh. Namun ia merekam juga realitas ini dari jarak dekat ketika menelusuri lorong-lorong pemukinan masyarakat Tibet. Gejala ini menunjukkan ungkapan seni pada seni lukis Tiongkok tidak lagi dimonopoli agama. Pernyataan Lu Tianning mengukuhkan tanda-tanda ini, “Tibet adalah kombinasi sempurna kebebasan spiritual dan kenyataan.”
Pemahaman sejarah seni rupa tentang kontradiksi tradisi dan perkembangan baru, dibentuk sejumlah pemikiran yang tidak semuanya sejalan. Tidak semua pemikiran ini sinkron dengan kesimpulan besar sejarah seni rupa. Satu di antaranya pemikiran filosof GWF Hegel (1770 - 1831) tentang evolusi spirit.
Hegel melihat sensibilitas artistik yang mendasari ungkapan seni merupakan kendaraan spirit yang berada di ruang metafisis bersama agama dan pemikiran. Pada awal Abad ke-19, ia menemukan perubahan, di mana spirit bersama sensibilitas artistik—karena perkembangan pemikiran dan nilai-nilai masyarakat—bergeser dari lingkup agama ke lingkup pemikiran tentang realitas. Namun spirit dan sensibilitas artistik tidak berlabuh pada filsafat melainkan berhenti di antara pemikiran dan agama dan mendasari persepsi.
Hegel bisa disebutkan menemukan spektrum sensibilitas artistik (spectrfum of artistic sensbibilites) yang tadinya dikira punya cuma satu gejala. Pemikiran ini melampaui batas-batas budaya dan karena itu bisa menjelaskan keyakinan Lu Tianning.
Komentar Berita