Anak Desa Terpencil Maumere Ini Raih Guru Besar Antropologi Ekologi Setelah Berguru ke Masyarakat Tiga Gunung
Oleh : Kormen Barus | Selasa, 17 Desember 2024 - 13:49 WIB
Prof. Dr. Ir. Prudensius Maring
INDUSTRY.co.id, Jakarta-Prof. Dr. Ir. Prudensius Maring, M.A lahir dan menjalani masa kecil hingga usia SD di Desa Kloangpopot, sebuah Desa terpencil saat itu di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kloangpopot adalah desa yang subur. Hal itu yang memungkinkan kedua orangtuanya dan penduduk desa menjadi peladang berpindah dan bertransformasi menjadi pemilik kebun kopi, cengkeh, coklat, durian, dan buah-buahan lainnya.
Keberhasilan transformasi ladang berpindah menuju tanaman tahunan menarik banyak peneliti melakukan kajian di sana dan menulisnya. Rintisan kebun orangtua dan penduduk desa itu membuat dirinya bangga mengajak tim peneliti dari Jakarta dan Australia berkunjung ke desa dan makan durian di rumah pada bulan Maret tahun 2024. “Latar ekologi itulah yang melandasi alasan kedua orangtua mengarahkan saya bersekolah menjadi sarjana pertanian agar kelak pulang kampung urus kebun,”ujar Prudensius.
Prudensius menuturkan bahwa di tahun 1987 hingga 1992 adalah masa dirinya mendalami dunia pertanian di Yogyakarta. Sebuah rentang proses pendidikan yang cukup meyakinkan saya bahwa dengan sentuhan teknis yang memadai maka bisa terselesaikan masalah pertanian dan urusan petani. Bekal sarjana pertanian itu mendoronnya kembali ke NTT menjadi Dosen PNS. Prudensius mempublikasi beberapa opini di surat kabar lokal dengan memastikan gelar Insinyur mengapit nama saya. Motif utama adalah memberi rekomendasi tanaman tahunan adaptif wilayah kering.
Namun, sebagai Dosen Muda saat itu kata Prudensius tersirat pula pikiran bahwa publikasi adalah strategi dan taktik menunjukkan kepada sahabat dan masyarakat bahwa saya ada melalui buah pikiran saya. “Kebiasaan yang terus saya lakukan. Setiap masuk ke lingkungan baru selalu saya tunjukkan kehadiran melalui tulisan baru. Delapan tahun kemudian saya menyadari bahwa strategi dan taktik yang saya lakukan itu menyerupai pemikiran Michel Foucault dalam bukunya, Power/Knowledge Pengaruhi orang atau pihak lain melalui pengetahuan dengan cara-cara persuasive,”ungkap pria murah senyum ini.
Setahun lebih menjalani profesi Dosen Pertanian, mulai menjalar rasa ingin tahu yang baru. Berkecamuk pikiran, cukupkah saya menjalani kesarjanaan saya untuk urusan yang sudah berhasil dilakukan kedua orangtuaku dan petani di kampung. “Saya tergoda melihat masalah sumber daya alam dari aspek pendekatan pembangunan pedesaan dan dimensi sosial lainnya. Hal itu terlihat dari publikasi saya di koran lokal dengan judul: “Kualitas Partisipasi Masyarakat Pedesaan Terancam” pada tanggal 2 Juni 1995. Itu adalah tulisan pertama saya tentang masalah sosial yang saya anggap sebagai tonggak penting,”ceritanya.
Tulisan itu kini diintegrasikan dalam buku terbarunya berjudul: “Kontestasi Kekuasaan dan Raut Suram Ekologi” (Maring, 2022) dengan editor Dr. Endang Moerdopo dan kata pengantar oleh Bapak Kasih Hanggoro, MBA. Buku tersebut berisi 46 tulisan popular terpilih yang pernah dipublikasikan Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, Pos Kupang, Arahkita.Com, dan Suara-Flores.Com.
Mulai Belajar Antropologi Ekologi
Gayung bersambut, di tengah godaan melihat dimensi sosial pengelolaan sumber daya alam, datanglah sepucuk surat dari Program Pengkajian dan Pengembangan Antropologi Ekologi Universitas Indonesia (P3AEUI), yang menawarkan penjaringan peneliti pemula. Setelah terlibat dalam proses pelatihan metodologi kualitatif dan praktik penelitian antropologi tahun 1997 pada masyarakat Gunung Mutis di Timor, saya terpilih untuk belajar antropologi ekologi di UI. “Melalui antropologi ekologi saya mempelajari hubungan antara kebudayaan dengan ekologi. Ternyata, hubungan manusia dengan lingkungan tidak bersifat linear/tunggal dan tidak berlangsung di ruang kosong tanpa kepentingan,”ungkap ayah tiga anak (dua putri dan satu putri).
Antropologi ekologi menurutnya tidak lagi hanya bergulat dengan dirinya sendiri untuk mencari jawaban tentang hubungan determinasi antara kebudayaan dan lingkungan. Apakah kebudayaan yang mempengaruhi lingkungan atau sebaliknya lingkungan yang mempengaruhi kebudayaan. Melalui proses pendidikan magister saya mempelajari bagaimana hubungan antara masyarakat lokal dengan kawasan hutan, implikasi kebijakan, dan kepentingan stakeholders yang memicu konfliik.
“Saya mengakhiri studi magister saya melalui riset tesis tentang: “Masyarakat Lokal dan Kawasan Hutan: Proses Pengambilan Keputusan Pemanfaatan Lahan Kawasan Hutan Negara” pada masyarakat di sekitar Gunung Betung Lampung.
Makin menggeluti antropologi ekologi makin terlihat bahwa di balik urusan sumber daya alam bersifat teknis, berjejal berbagai masalah sosial. Masalah lingkungan tersebut selalu bersumber dari kontestasi dan pertarungan kepentingan banyak pihak, yang tidak hanya melahirkan hubungan bernuansa kolaboratif, resistensi, dan konflik, tapi juga menimbulkan bencana alam seperti banjir, longsor, pandemi, dan kerusakan alam akibat perilaku eksploitatif. Situasi demikian mendorong dirinya melanjutkan studi program Doktoral saya di UI untuk mendalami antropologi kekuasaan dengan basis substansi ekologi. Ia menjalani riset disertasi dengan judul: “Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam Penguasaan Hutan” pada masyarakat Gunung Egon di Flores. Dirinya berusaha menginspirasi pemikiran Foucault untuk memahami realitas sosial yang kompleks seperti konflik, perlawanan, dan kolaborasi. “Hasil riset disertasi saya telah dipublikasikan dalam bentuk buku dengan judul: Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi? Beberapa artikel ilmiah lainnya dipublikasikan dari riset tersebut.
Usai mempelajari antropologi melalui perkuliahan kelas dan berguru langsung dengan masyarakat pada tiga gunung (Gunung Mutis di Timor, Gunung Betung di Lampung, dan Gunung Egon di Flores), saya mempublikasikan satu artikel dengan judul: Tercebur Seraya Meneguk Antropologi (Maring, 2017.
Ketika ujian tesis tahun 2000, salah satu penguji berkomentar bahwa tesis antropologi saya masih beraroma agroforestry. Bunyinya terdengar mirip tapi jauh berbeda dan menyentil. Mungkin itu konsekuensi dari menceburkan diri dalam dunia antropologi. “Saya simpan baik-baik komentar itu dan bertekad suatu waktu harus melanjutkan kuliah antropologi. Akhirnya terjawab, tahun 2024 saya memulai kuliah program Doktor Antropologi di UI,”kata Prudensius.
Ketika ujian promosi doktor tahun 2008, salah satu penguji berkomentar bahwa setelah ia bertahun-tahun menguji tesis dan disertasi antropologi, baru kali ini ia menjumpai disertasi yang jelas pijakan teorinya, terukur metodologinya, pembaca seperti diajak mendiskusikan teori lalu turun ke lapangan mengumpulkan data dan kembali menemukan hasil analisis yang jelas. Pernyataan itu tidak membuat saya besar kepala, tetapi cukup merasakan kepuasan meneguk antropologi
Kolaborasi, Pilihan Jalan Tengah yang Berkelanjutan
Secara konsisten, pasca program doktoral, riset dan publikasi ilmiah Prudensius lebih banyak mengangkat tema kolaborasi dan pendekatan transformasi konflik ekologi/lingkungan. Pendekatan transformasi konflik memberi ruang dan pengutamaan pada kolaborasi.
Realitas sumber daya ekologi yang merosot dan kemunduran tatanan sosial membutuhkan strategi penyelamatan. “Kita tidak sedang bermain-main dalam urusan penyelamatan ekologi karena kesalahan memilih pendekatan berpotensi merusak tatanan sosial dan sumber daya alam.”ungkapnya.
Pada tataran implementasi kolaborasi, para pemangku kepentingan harus sungguh-sungguh melakukan hal-hal berikut: 1) Proaktif mengartikulasikan kepentingan masing-masing pihak; 2) Proaktif mendiskusikan perbedaan kepentingan masing-masing pihak; 3) Proaktif membangun kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi; 4) Proaktif merumuskan tujuan dan strategi secara bersama; 5) Proaktif menentukan mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk mengawal proses.
“Kolaborasi harus diikat dengan tujuan bersama agar semua pihak aktif berkontribusi mewujudkan tujuan bersama. Kolaborasi yang dibangun bersama melahirkan rasa memiliki dan tangggung jawab untuk merawatnya secara berkelanjutan”,ungkapnya.
“Mari kita bergandengan tangan mempraktekkan dan perkuat kolaborasi sebagai pendekatan jalan tengah untuk pelestarian lingkungan/ekologi demi keberlanjutan satu bumi kehidupan kita,”ajak Prof Prudensius yang Prudensius resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Antropologi Lingkungan berdasarkan SK Mendikbudristek tertanggal 4 Juli 2024.
Komentar Berita