Eksekusi Sengketa Agraria Harus Tunggu Putusan Inkrah, Tegas Pakar Hukum
Oleh : Nina Karlita | Selasa, 10 Desember 2024 - 21:04 WIB
Ryan Rudyarta, pakar hukum agraria dan dosen di Universitas Satyagama.
INDUSTRY.co.id - Jakarta – Sengketa agraria sering kali memicu ketidakpastian hukum, terutama jika eksekusi dilakukan sebelum putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Hal ini ditekankan oleh Ryan Rudyarta, pakar hukum agraria dan dosen di Universitas Satyagama pada Senin (9/12/2024).
“Eksekusi baru bisa dilakukan setelah putusan inkrah untuk menjamin kepastian hukum. Kalau bertindak sebelum itu, dampaknya adalah ketidakpastian yang merugikan semua pihak,” ujar Ryan, yang juga anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Ia menjelaskan, inkrah adalah status hukum di mana suatu putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut. Dalam konteks hukum, terdapat dua jenis upaya hukum: biasa, seperti banding dan kasasi; serta luar biasa, seperti peninjauan kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA).
Ryan mengangkat kasus yang melibatkan PT Hasana Damai Putra (DPG) sebagai contoh nyata tantangan hukum agraria. DPG memiliki objek properti yang sertifikat jual belinya dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri (PN) Bekasi pada 2014 dan telah melalui serangkaian putusan hingga PK di MA. Namun, pada 2019 muncul putusan berbeda atas objek yang sama, juga dari PN Bekasi.
“Ini menimbulkan persoalan karena terdapat dua putusan yang bertentangan pada objek yang sama. Berdasarkan Pedoman Eksekusi oleh Mahkamah Agung, eksekusi tidak dapat dilakukan dalam situasi seperti ini,” jelas Ryan, yang juga dosen di Universitas Podomoro.
Meskipun PK terkait kasus ini masih berlangsung di MA, PN Bekasi telah dua kali mengirimkan surat eksekusi untuk objek properti tersebut. Hal ini dinilai Ryan sebagai langkah yang berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian bagi para pihak.
PT. Hasana Damai Putra, menurut Ryan, telah berupaya mematuhi prinsip Good Corporate Governance (GCG) dengan menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas dalam menangani kasus ini. “Perusahaan telah menunjukkan komitmen melindungi hak konsumen dan stakeholders lain dengan tetap mematuhi hukum yang berlaku,” katanya.
Ryan juga mengingatkan bahwa konflik agraria yang disebabkan oleh mal-administrasi pendaftaran tanah harus menjadi perhatian serius. “Ke depan, saya berharap tidak ada lagi kekeliruan dalam pendaftaran tanah. Semua pihak perlu menghormati proses hukum dan menunggu hasil keputusan dari MA,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya penghormatan terhadap proses hukum yang berlaku demi menjaga keadilan dan kepastian hukum, terutama dalam sengketa agraria yang melibatkan banyak kepentingan.
Komentar Berita