Upaya Strategis Kementerian ATR/BPN Wujudkan Tertib Tanah dan Ruang di Era Kemudahan Berusaha
Oleh : Hariyanto | Senin, 25 November 2024 - 16:46 WIB
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian ATR/BPN Dr. Ir. H. Jonahar, M.Ec.Dev
INDUSTRY.co.id - Jakarta – Di era kemudahan berusaha diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan tanah dan ruang demi terciptanya harmoni antara kepentingan investasi dan pelestarian tata ruang. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian ATR/BPN Dr. Ir. H. Jonahar, M.Ec.Dev dalam acara Webinar Nasional yang mengusung tema “Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Era Kemudahan Berusaha” pada Kamis (21/11/2024).
Jonahar memaparkan bahwa terdapat beragam tantangan dalam mewujudkan tertib tanah dan ruang di era kemudahan berusaha. Seperti contoh, terdapat ketimpangan penguasaan tanah/gini ratio di Indonesia mencapai 0,48 persen.
“Ini berarti 1 persen penduduk menguasai 48 persen tanah di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman bagi keadilan sosial dan ekonomi. Selain itu, dari total 19.594 bidang tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang aktif, ditemukan 1.612 bidang dengan luas lebih dari 2,2 juta hektar tidak sesuai dengan peruntukkannya atau terindikasi terjadi pelanggaran,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Jonahar menandaskan, Direktorat Jenderal PPTR mengambil langkah tahapan inventarisasi tanah terindikasi terlantar.
“Kami akan mengajikan revisi Tahapan Penertiban Tanah Terlantar dengan Evaluasi dan Pemberitahuan yang sebelumnya 555 hari dengan rincian Pemberian Peringatan I (90 hari), Peringatan II (45 hari), dan Peringatan III (30 hari) dan Usulan Penetapan 30 hari menjadi total 240 hari saja. Hal tersebut meliputi Pemberian Peringatan I (30 Hari), Peringatan II (30 Hari), dan Peringatan III (30 hari), dan Usulan Penetapan (30 Hari). Selanjutnya, dilakukan Penetapan Tanah Terlantar dan Penetapan Peruntukan Pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN),” jelasnya.
Dari hasil 2 tahun sejak diterbitkan status hukum pertanahan di Indonesia, seperti Hak Atas Tanah (HAT), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), Dasar Pemanfaatan Aset Tanah (DPAT) hingga tahun 2024, sambung Jonahar, sebanyak 33.654,01 hektar tanah terlantar telah dinventarisasi dengan rincian 11.257,44 hektar dialokasikan untuk Reforma Agraria; untuk Bank Tanah seluas 15.976,81 hektar; lahan seluas 721,09 hektar untuk Program Strategis Nasional; dan 4.637,29 hektar untuk Cadangan Negara Lainnya.
“Terkait laju alih fungsi lahan sawah mencapai 100.000-150.000 hektar per tahun, maka Dirjen PPTR menargetkan penyelesaian peta Lahan Sawah Dilindungi (LSD) di 12 Provinsi hingga akhir 2024 untuk menjaga ketahanan pangan.” tambah Johanar.
Diakui Jonahar bahwa permasalahan HGU sebesar 92 persen, KKPR sebanyak 90 persen, dan 99 persen PMP-UMK belum dilakukan penilaian, dan terdapat indikasi pelanggaran tata ruang yang masih belum ditindaklanjuti sebesar 49 persen.
Melihat fakta tersebut, Jonahar menegaskan, mengambil langkah strategis dengan menerapkan Strategi Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang dengan ‘5M’ (Man, Money, Method, Material, dan Membangun Kolaborasi) dan mengaplikasikan Strategi Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang di awal, tengah dan akhir.
"Diawali dengan dengan pemantauan segera setelah KKPR diterbitkan untuk mencegah pelanggaran pemanfaatan ruang; kemudian, pemantauan berkala dan menerus selama proses pemanfaatan ruang; dan terakhir, melakukan penertiban ruang apabila terjadi pelanggaran.” ujarnya.
“Melakukan integrasi data spasial melalui geoportal untuk mendukung pengendalian berbasis digital. Lalu, dilakukan penyesuaian struktur kelembagaan di Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan BPN.” tambah Jonahar.
Di era kemudahan berusaha, menurut Aria Indra Purnama, S.T., MUM., Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR Kementerian ATR/BPN, kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang menjadi instrumen penting untuk memastikan pengelolaan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
“Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang menitikberatkan pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemanfaatan ruang untuk mendukung ekosistem investasi dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan. Adapun kebijakan ini berlandaskan pada sejumlah regulasi, di antaranya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun Tahun 2024 yang memberikan kemudahan dalam proses administrasi izin usaha; dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelanggaraan Penataan Ruang,” sebutnya.
Aria mengungkapkan bahwa pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang menggunakan dua pendekatan. “Pertama, pendekatan Preventif yaitu melakukan penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) serta pembinaan pelaku usaha kecil dan mikro (UMK). Kedua, pendekatan Kuratif berupa pengenaan sanksi administratif bagi pelanggaran, termasuk penghentian kegiatan hingga pemulihan fungsi ruang. Dapat dikatakan penilaian KKPR menjadi hal penting dalam menilai kesesuaian penggunaan ruang terhadap dokumen rencana tata ruang,” jelasnya.
Aria menyampaikan kebijakan agar pelaku usaha patuh terhadap Rencana Tata Ruang (RTR) dengan memberikan kebijakan insentif dan disinsentif. “Kebijakan insentif ini mencakup kompensasi, subsidi, atau penyediaan fasilitas. Sebaliknya, kebijakan disintensif diterapkan bagi kegiatan usaha yang melebihi kapasitas dari daya dukung lingkungan. Kebijakan tersebut dapat menciptakan keseimbangan antara mendorong investasi dan menjaga lingkungan,” imbuhnya.
Terkait masalah sengketa, Aria memaparkan bahwa perselisihan dalam pemanfaatn ruang, baik di antara lembaga, pemerintah maupun masyarakat sebaiknya ditangani melalui tiga tahap penyelesaian, meliputi negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. “Jika cara-cara tersebut tidak berhasil, maka perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan. Mekanisme tersebut dirancang untuk menjaga kepastian hukum dan mengakomidasi kepentingan semua pihak,” tandasnya.
“ Di era kemudahan berusaha, kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang adalah jalan tengah antara kebutuhan investasi dan pelestarian ruang. Dengan pengawasan ketat, pemberian insentif, dan sanksi tegas, diharapkan tata kelola ruang akan lebih tertib, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan menghindari konflik.” harap Aria.
Komentar Berita