Asosiasi Energi Surya Indonesia Minta Regulasi PLTS Atap Memihak Kepada Masyarakat

Oleh : Hariyanto | Sabtu, 24 Juli 2021 - 15:32 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 49/2018 belum juga selesai meski telah melewati pembahasan selama beberapa bulan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, perbaikan regulasi ini penting dan mendesak untuk memaksimalkan pemanfaatan energi surya yang potensinya mencapai 19,8 TWp dalam rangka mendukung pencapaian target 23% bauran energi terbarukan di 2025 sesuai target Perpres No. 22/2017.

"PLTS Atap dapat mendukung pencapaian target energi terbarukan yang dicanangkan Presiden melalui gotong royong masyarakat. Adanya potensi teknis dan minat yang tinggi dari masyarakat dan pelaku usaha untuk ikut serta mendukung program pemerintah melalui pemasangan PLTS Atap harus direspon dengan regulasi yang kondusif," kata Fabby pada Press briefing Asosiasi Energi Surya Indonesia terkait PLTS atap yang dikutip INDUSTRY.co.id, Sabtu (24/7/2021).

"Bagi konsumen rumah tangga ketentuan ekspor-impor 1:1 ke dan dari jaringan PLN akan mempercepat waktu pengembalian investasi pelanggan. Diperlukan juga dengan proses pengajuan dan perizinan yang jelas, tidak berbelit-belit, kepastian mendapatkan meter exim yang diterapkan seragam di seluruh Indonesia sehingga calon pengguna mendapatkan kepastian," kata Fabby.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Dr. Dadan Kusdiana, dalam berbagai kesempatan, draft terbaru revisi Permen 49/2018 ini akan mengembalikan tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1 sesuai Peraturan Direksi PLN yang sebelumnya dipakai, periode reset kelebihan transfer

listrik diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, dan penyederhanaan proses pendaftaran serta penggantian kWh meter.

Perubahan ini telah mengakomodasi masukan berbagai pihak untuk meningkatkan daya tarik dan keekonomian PLTS atap sehingga diadopsi lebih luas oleh masyarakat. Asosiasi sendiri, menurut Fabby, juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk mendorong peran aktif masyarakat dalam menggunakan energi terbarukan dengan perbaikan permen tersebut.

Survei pasar yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jabodetabek, Surabaya, Bali, dan Jawa Tengah menggarisbawahi aspirasi calon pengguna PLTS atap untuk tingkat keekonomian yang lebih baik. Mayoritas responden menginginkan periode balik modal investasi di bawah 7 tahun, dominan di 3-5 tahun.

Hal ini tidak dapat dipenuhi oleh regulasi saat ini, yaitu tarif net-metering 1:0.65. Dengan menjadikan tarif ekspor listrik setara tarif impor, periode balik modal dapat diperpendek 1-2 tahun.

Keekonomian memang masih menjadi salah satu faktor penting bagi masyarakat dan berbagai pihak, di samping motivasi lainnya seperti kontribusi pelestarian lingkungan dan persepsi bahwa PLTS atap merupakan teknologi yang keren dan hi-tech.

Perbaikan regulasi yang meningkatkan keekonomian terbukti menjadi pendorong utama naik pesatnya instalasi PLTS atap di sektor industri - dengan adanya penurunan biaya paralel kapasitas dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam per bulan.

Bila pemerintah serius ingin menunjukkan dukungan pada pemanfaatan energi surya, peraturan yang ada harus merefleksikan tingkat keekonomian yang menarik, juga kejelasan prosedur.

I Made Aditya yang merupakan Sekjen AESI/ Head of Business Solution SUN Energy mengatakan, peningkatan lapangan pekerjaan di sektor industri PLTS itu memang benar adanya, SUN Energy sebagai developer juga bekerjasama dengan berbagai macam instaler.

"SUN Energy sendiri hingga saat ini sudah memiliki 68 pekerja tetap yang dari 3 tahun lalu yang sudah naik 300 persen dan bekerja sama dengan para instaler yang notabenya memiliki banyak ahli atau teknisi yang memasang PLTS residensial maupun komersial dan industrial," kata I Made Aditya.

Dia mengungkapkan, PLTS Atap merupakan teknologi inovasi yang tidak bisa dihindari. Bila berbicara teknologi inovasi, lanjut I Made Aditya, itu jangan pernah di halang-halangi. "Bisnis PLTS merupakan ekosistem atau bisnis yang sangat terbuka, apabila ada ketertarikan dari semua pihak semestinya sudah sepantasnya memiliki hak untuk berkompetisi secara sehat baik dari stakeholders, pengembang, instaler dan sebagainya sehingga peraturan dan regulasi yang hendaknya dibuat itu sudah seharusnya mendorong market demand. Sehingga apabila semuanya di dukung maka masyarakat yang akan diuntungkan," imbuhnya.

Rasionalitas keekonomian dengan tarif net-metering 1:1 ini seringkali dikhawatirkan mengurangi pemasukan (revenue) PLN, bila banyak masyarakat yang menggunakan PLTS atap. Kondisi oversupply di beberapa wilayah, ditambah dengan turunnya permintaan listrik dan tidak tercapainya pertumbuhan sales listrik juga banyak diungkapkan sebagai alasan.

"Ketika kita berbicara soal tarif, misalnya tarif yang kita bayarkan baik residensial maupun komersial industrial itu juga sudah memuat komponen-komponen seperti transmisi dan sebagainya. Perlu diingat juga apabila kita melakukan pemasangan listrik contohnya dirumah itu sudah ada biaya pemasangan atau biaya penyambungan listrik yang dibayarkan oleh konsumen kepada PLN," ungkapnya.

Simulasi IESR menunjukkan bahwa bila terdapat total instalasi 1 GWp PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,52% dengan tarif net-metering 1:1 dan 0,58% dengan tarif 1:0,65.

Sejumlah kendala masih dijumpai di lapangan. Proses penggantian kWh meter menjadi kendala yang paling umum dialami oleh pengguna PLTS atap sektor residensial.

Survei singkat yang dilakukan IESR pada perusahaan engineering, procurement, and construction (EPC) PLTS atap menunjukkan lebih dari 60% harus menunggu minimal 1 bulan dan tak sedikit yang di atas 3 bulan - padahal dalam Permen saat ini seharusnya dalam maksimal 15 hari kerja setelah SLO diterima oleh PLN.

Sejumlah pelanggan komersial dan industri (C&I) juga mengalami kesulitan, misalnya permintaan naik ke tingkat pelanggan premium tanpa dasar yang jelas dan pemberlakuan SLO untuk instalasi di bawah 500 kWp.

Dengan tenggat waktu yang tinggal 4 tahun untuk mencapai target energi terbarukan 23% pada 2025 dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai komitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC), partisipasi berbagai pihak, khususnya masyarakat sangat penting dan tidak terelakkan.

PLTS atap adalah salah satu kontribusi nyata masyarakat untuk target tersebut, yang dapat dilakukan secara cepat di seluruh wilayah Indonesia, serta tidak menggunakan anggaran pemerintah.

Instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap tenaga kerja 20.000 - 30.000 orang per tahun (angka konservatif) dan mampu menciptakan permintaan untuk pengembangan industri surya dalam negeri - juga menurunkan emisi GRK hingga 1,05 juta ton per tahun.

PLTS atap juga dapat menjadi solusi strategis pemerintah untuk penyediaan akses energi yang berkualitas, berkelanjutan, dan tidak membebani anggaran negara.

Pemerintah dapat mengganti subsidi listrik untuk rumah tangga atau kelompok penerima subsidi lain dengan PLTS atap, sehingga mereka dapat menggunakan listrik yang cukup untuk kegiatan produktif dan bahkan tidak perlu membayar listrik. PLN akan diuntungkan dengan kelebihan listrik yang dapat diekspor, dan dalam jangka panjang subsidi listrik akan hilang seluruhnya. Pemasangan 1 GWp PLTS atap untuk penggantian subsidi listrik akan menurunkan jumlah subsidi hingga Rp 1,3 triliun per tahun.