Dolfie DPR: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Jangan Seperti ‘Rumput Liar’

Oleh : Candra Mata | Rabu, 02 Juni 2021 - 16:32 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada rentang 5,2 hingga 5,8 persen di tahun 2022. 

Terkait itu, Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Dolfie OFP meminta pemerintah untuk menyampaikan secara detail berbagai kebijakan pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target tersebut.

“Pertumbuhan ekonomi ini kan tidak bertumbuh alami, seperti rumput liar tumbuh begitu. Ada sumber-sumber pertumbuhan yang bisa dikendalikan atau bisa didorong oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, maupun kebijakan Bank Indonesia," kata kata Dolfie dalam rapat kerja Banggar DPR dengan agenda embahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN TA 2022 dan RKP 2022 dengan pemerintah di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Saat rapat panja nanti, kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi agar disampaikan,” sambungnya.

Menurut Dolfie, kebijakan-kebijakan tersebut penting untuk disampaikan secara detil dalam penyusunan RAPBN 2022. 

Sejauh ini menurutnya, dari postur APBN yang disampaikan Pemerintah, Dolfie mensimulasikan bahwa nantinya  penerimaan negara akan bertambah sekitar Rp80-152 triliun dibandingkan dengan tahun 2021. 

Selanjutnya, belanja negara juga akan bertambah Rp26-120 triliun dibanding sebelumnya. 

Meski demikian, defisit dinilai akan berkurang tajam mengingat pemerintah sudah menyampaikan akan memberikan landasan untuk konsolidasi fiskal di tahun 2023.

“Dalam rangka konsolidasi fiskal tahun 2023, APBN 2022 akan menjadi landasannya, Pemerintah tadi sudah menyampaikan akan ada penguatan kualitas belanja. Dalam pembahasan nanti, penguatan kualitas belanja bisa dijelaskan dalam masing-masing K/L, atau melalui penguatan kualitas belanja lainnya, misalnya di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, harus secara detail,” ungkap politisi PDI-Perjuangan itu.

 

Selanjutnya, dari sisi Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang sudah ditetapkan, dinilai masih terlalu rendah. 

Dolfie mengingatkan, NTP pernah mencapai angka 105 pada tahun 2011 dan NTN pernah sebesar 114 pada tahun 2019 dengan menggunakan metode yang sama. 

“Jangan sampai dengan alasan Covid-19, kemudian NTP dan NTN dibuat terus rendah. Tidak ada political will kita terhadap petani dan nelayan kita,” tandasnya.

Sebelumnya, berdasarkan paparan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, pemerintah memang menargetkan angka NTP dan NTN berada pada kisaran 102 hingga 104 sebagai Indikator Pembangunan 2022.

Kisaran angka tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali jika dibandingkan dengan outlook NTP dan NTN pada tahun 2021. Sebab pihaknya bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa selama petani off-farm atau tidak di sawah, mereka bekerja sebagai buruh di kota. 

“Pada saat periode waktu sebagai buruh, data jam kerja petani tersebut luput dari pendataan BPS dan justru masuk dalam data buruh. Ini yang harusnya bisa kita perbaiki bersama, saat ini sedang kami bicarakan dengan BPS. Nanti, supaya kita bisa benar-benar tahu persis berapa Nilai Tukar Petani yang sesungguhnya atau yang masih on-farm," kata Suharso. 

Tidak berhenti sampai di situ, Kepala Bappenas itu juga memaparkan bahwa petani lebih banyak bekerja di wilayah pertanian sekitar 1.000 jam dari total 2.000 jam selama setahun. Sehingga tidak menampik bahwa angka NTP perlu dikoreksi. 

"Kalau terjadi perubahan yang baik pada Nilai Tukar Petani dan jam kerja di on-farm, dan off-farm menjadi berkaitan dengan produktivitas di pertanian, maka akan sekaligus kita memperoleh kenaikan di NTP, sebagaimana yang terjadi di Thailand dan China. NTP itu rata-rata sekitar 140," pungkasnya.