Sudah Diadili BANI, Sengketa Bisnis Bina Bangun Wibawa Mukti - Menara Mas Energi Tak Kunjung Tuntas

Oleh : kormen barus | Selasa, 30 Maret 2021 - 23:00 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Kisruh bisnis antara PT Menara Mas Energi (MME) dan PT Bina Bangun Wibawa Mukti (BBWM) belum juga selesai. Padahal, antara kedua pihak sudah diputuskan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk kembali pada mekanisme pembagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.

Belakangan, BBWM yang digugat ke BANI oleh MME menyatakan akan kembali menggugat ke BANI. Hal ini menimbulkan tanda tanya dari pihak MME karena pada prinsipnya putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

“Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali,” ujar Sabinus Moa, SH dari PT SANITA yang diberi kuasa oleh MME untuk menuntaskan hak-hak MME, dalam releasenya kepada industry.co.id pada Selasa (30/3/2021).

Sabinus menambahkan, kalau pun BBWM mau menggugat ke BANI, semestinya salah satu Putusan BANI pada perkara sebelumnya, agar BBWM turut membayar separuh biaya sidang harus lebih dahulu direalisasikan. “Kalau begini, BBWM sepertinya merasa lebih berkuasa dari hukum. Dia bisa mengabaikan keputusan pengadilan,” lanjut Sabinus.

Langkah BBWM juga kian mengaburkan kelanjutan kerjasama kedua pihak dalam konsorsium bersama PT Pertamina Gas (Pertagas). Sebelumnya, ketiga pihak telah menyepakati kerjasama pembangunan dan pengoperasian kilang LPG (Liquefied Petroleum Gas). Dari kerjasama ini, BBWM bersama MME dan Pertagas berkewajiban medistribusikan gas bersubsidi untuk masyarakat kelas menengah bawah.

Kontrak kerjasama konsorsium ini telah akan berakhir pada tanggal 16 Maret 2021 ini. Sejauh ini, belum ada pembicaraan apa pun terkait kelanjutan kerjasama ini.

Peluang kelanjutan kerjasama pengadaan gas bersubsidi untuk masyarakat menengah bawah ini cenderung suram. Hal itu terjadi karena antara MME dengan BBWM yang juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kebupaten Bekasi justru terlibat konflik terkait pembagian keuntungan antara kedua pihak yang sangat merugikan MME.

“Sampai saat ini belum pernah ada pembahasan soal kelanjutan kerjasama. Bagaimana mau bicara kelanjutan kerjasama, jika soal pembagian keuntungan yang berlaku selama ini cenderung tidak selaras dengan praktik bisnis yang lazim,” ujar Direktur Utama MME, Adrianus Tanari, di Jakarta (30/3/2021).

Dengan mandegnya pembicaraan lanjutan soal kerjasama kedua pihak dengan Pertagas, komitmen menjalankan distribusi LPG dengan skema PSO menjadi tidak jelas. Jika kerjasama harus dilanjutkan, menurut pihak MME, perlu evaluasi lebih jauh. Evaluasi tidak saja soal pembagian keuntungan tetapi juga terkait distribusi LPG agar berjalan sesuai ketentuan PSO, sebab  LPG bersubsidi yang dibiayai negara sedapat mungkin dicegah dari kemungkinan kebocoran.

Kesepakatan Konsorsium

Kesepakatan kerjasama antara MME dengan BBWM disepakati pada 4 November 2011. Bentuk kesepakatannya adalah kerjasama konsorsium turut serta dalam pembangunan dan pengoperasian kilang LPG. Konsorsium ini kemudian menandatangani kerjasama pembangunan dan pengelolaan LPG Plant Pondok Tengah, Bekasi dengan PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero). Kesepakatan dengan Pertagas terjadi pada 9 November 2011.

Menurut Adrianus Tanari, “melalui kemitraan dengan Pertagas, konsorsium ini mendanai operasional pengolahan LPG bersubsidi yang dibiayai oleh MME yaitu untuk biaya investasi, pembelian gas terproses bulanan, biaya processing fee bulanan, relokasi kompresor dari Pangkalan Brandan ke Pondok Tengah dan biaya-biaya operasional lainnya. Jadi bukan pengadaan produksi dan distribusi  LPG untuk kepentingan komersial. Tapi untuk pengadaan LPG PSO (public service obligation) sesuai kebijaksanaan pemerintah yaitu atas konversi penggunaan minyak tanah ke LPG. Jadi bukan untuk kepentingan komersial karena ada subsidi dari negara,” tegas Adrianus Tanari.

Meski mengemban tugas mulia karena untuk melayani kepentingan masyarakat, kerjasama dalam Konsorsium BBWM dan MME tidak sesuai dengan klausul kontrak yang menyatakan Tujuan Kerjasama Perjanjian yang saling menguntungkan (mutual benefit). Terutama berkaitan dengan pembagian keuntungan yaitu BBWM mendapatkan keuntungan yang fantastis tetapi MME mengalami kerugian yang besar. Akibat tidak tercapai kesepakatan soal pembagian keuntungan, pada tahun 2015 konsorsium ini sempat berupaya menyelesaikan sengketa bisnis antara mereka melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Namun, keputusan BANI tidak serta merta menyelesaikan persoalan kerjasama antara kedua pihak. Sesuai kesepakatan awal, kedua pihak berhak atas 40% pendapatan dari Pertagas. Dari jumlah itu, BBWM berhak menerima hasil pendapatan usaha sebesar 25% sedangkan MME mendapat jatah sebesar 75% dimana semua biaya operasional sebesar 40% ditanggung oleh MME. Setelah keputusan  BANI, jumlah 40% pendapatan dari Pertagas dibagi 25%:75% setelah dikurangi biaya-biaya operasional (nett profit).