Miris! Sudah 75 Tahun Merdeka, Indonesia Belum Memiliki Payung Hukum yang Melindungi Masyarakat Adat
INDUSTRY.co.id, Jakarta-Memperingati 13 tahun Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat, Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut positif upaya Panitia Kerja (Panja) RUU Masyarakat Adat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah menyepakati RUU Masyarakat Adat menjadi RUU inisiatif DPR setelah didorong sejak tahun 2009.
Sebagai mekanisme nasional HAM dengan mandat khusus untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan berpendapat bahwa RUU Masyarakat Adat dapat menjadi jawaban pada persoalan-persoalan diskriminasi yang masih dialami masyarakat adat, termasuk di dalamnya terhadap Perempuan Adat.
Hingga 75 tahun kemerdekaan, Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara khusus melindungi masyarakat adat. Padahal UUD 1945 secara khusus pada Pasal 18 B Ayat (2) mengamanatkan Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya dan Pasal 28I Ayat (3) agar Negara menghormati identitas budaya dan masyarakat tradisional.
Saat ini ada beberapa undang-undang sektoral yang mengakui secara terbatas tentang masyarakat adat, antara lain: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa; UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Namun, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut kerap justru menjadi pendorong terjadinya konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan Tata Ruang sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat pada 2012 memberikan harapan pada upaya negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas SDA. Hanya saja, meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa “Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara”, hingga tahun 2020 pengakuan hutan adat masih merupakan perjuangan berat bagi masyarakat adat untuk mewujudkannya.
Pemantauan Komnas Perempuan terhadap 49 kasus konflik SDA dan Tata Ruang dalam rentang pada tahun 2003 – 2019, 14 kasus di antaranya dihadapi oleh masyarakat adat. Konflik SDA dan Tata Ruang ini terjadi akibat pilihan model pembangunan yang masih berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan politik infrastruktur yang masif, yang diperburuk dengan ketidaktaatan hukum dan diskoneksi kebijakan pusat dan daerah, impunitas dan supremasi korporasi, serta perspektif yang mengabaikan masyarakat adat.
Tambah lagi, tidak dipatuhinya uji tuntas pemberian ijin terkait pembangunan, termasuk dalam memeriksa pemenuhan hak informasi, partisipasi publik dan persetujuan bebas bagi masyarakat terdampak, semakin menyingkirkan masyarakat adat. Pada tahun 2020 ini, misalnya, Komnas Perempuan mencatat kasus kriminalisasi pemimpin adat Effendi Buhing yang memperjuangkan kelestarian hutan adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau. Masyarakat Adat Kinipan menolak pembabatan hutan adat yang telah mereka kelola secara turun-temurun.
Perempuan menghadapi risiko yang khas dari dampak perusakan alam baik langsung maupun tidak langsung. Peran gender perempuan yang lekat dengan lahan, rumah maupun sumber daya alam lainnya menjadikan perempuan kelompok yang paling rentan dirugikan baik di ranah domestik atau publik.
Pengelolaan lingkungan hidup yang hanya menekankan pada keuntungan dan nilai kapital mengakibatkan perempuan masyarakat adat kehilangan akses terhadap sumber daya alam, kedaulatan pangan, hak pengelolaan wilayah SDA, dan sumber pengetahuan lokal yang bertumpu pada tanah dan budaya antara lain tentang pengobatan.
Secara tidak langsung konflik SDA dan Tata Ruang yang telah memiskinkan masyarakat adat menjadi penyebab terjadinya beragam bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan baik di ranah rumah tangga/personal maupun publik, seperti KDRT, perkawinan anak, pemaksaan pelacuran dan perdagangan orang.
Dampak berlapis yang dihadapi oleh perempuan adat tampak jelas dalam konflik hutan dan wilayah adat yang berlangsung sejak tahun 1982 hingga kini antara masyarakat adat Pubabu di Amanuban Selatan dengan Pemerintah Provinsi NTT. Pada tahun 2020, Komnas Perempuan menerima pengaduan bahwa telah terjadi penggusuran paksa oleh Pemerintah Provinsi NTT pada masyarakat adat Pubabu.
Akibatnya, saat ini terdapat 28 KK terdampak, diantaranya terdapat 2 ibu hamil, 6 ibu menyusui. Mereka tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya atas pangan, tempat tinggal, air bersih, hak atas pendidikan, hak kesehatan dan mendapat stigma sebagai kelompok yang melawan program pembangunan.
Komnas Perempuan juga terus memantau perjuangan perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat dalam menghadapi pelembagaan intoleransi, kekerasan dan diskriminasi berbasis agama. Dalam pendokumentasian yang dilakukan dari tahun 2012 – 2014 terungkap 115 kasus dari 87 peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami 57 perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat dari 11 komunitas yang tersebar pada 9 provinsi.
Dari 57 Perempuan korban usia termuda saat mengalami diskriminasi atau kekerasan adalah 11 tahun, dan usia tertua yang tercatat adalah 68 tahun. Sebanyak 51 diantaranya adalah korban langsung, 23 orang diantaranya telah mengalami lebih dari satu kekerasan dan diskriminasi secara berulang. Meski telah ada Putusan Makhamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan antara Agama dan Kepercayaan adalah SETARA, namun pemenuhan hak Konstitusi masyarakat adat penganut agama leluhur belum lagi terlaksana sepenuhnya. Termasuk, hak atas pemakaman para penghayat dan masyarakat adat penganut Agama leluhur yang hingga kini masih mengalami penghambatan.
Komnas Perempuan sangat mengapresiasi koalisi Masyarakat sipil yang hingga kini mengawal RUU Masyarakat Adat untuk dapat memastikan kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat, terutama hak perempuan adat.
Perempuan di dalam masyarakat adat adalah kerap sebagai penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi dalam keluarga dan komunitas, dan sebagai pengampu wilayah kelola adat yang berkaitan erat dengan sumber-sumber penghidupan untuk keberlangsungan hidup masyarakat adat. Perempuan adat juga memiliki daya kepemimpinan yang teruji dalam berstrategi dengan kreatif menyikapi berbagai kondisi krisis yang dihadapi oleh komunitasnya.
Untuk segera memenuhi hak konstitusional perempuan adat dan mengatasi situasi diskriminasi berlapis yang dialaminya, Komnas Perempuan, yang terdiri dari Dewi Kanti,Siti Aminah Tardi, Rainy Hutabarat,Andy Yentriyani, merekomendasikan:
1. DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang komprehensif bagi masyarakat adat, yang di dalamnya menegaskan hak-hak masyarakat adat dan keterlibatan perempuan adat dalam proses penentuan kebijakan pembangunan,
2. Pemerintah dalam hal ini Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait yang memiliki kewenangan dalam pemenuhan hak masyarakat adat agar melakukan koordinasi antar K/L untuk melakukan tindakan afirmasi bagi pada masyarakat adat yang diamanatkan sesuai dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (2) tentang hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini juga sesuai dengan RPJM 2020-2024 serta Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 untuk pemberdayaan perempuan, dalam hal ini perempuan adat.
3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:
a. melakukan uji tuntas Hak Konstitusional Warga dan Hak Asasi Manusia dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan dengan memberikan akses, kontrol, manfaat dan partisipasi yang setara antara laki-laki dan perempuan adat.
b. memastikan bahwa korporasi akan menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
4. Para pihak dalam menyikapi keluhan masyarakat adat atas pelanggaran hak-haknya mengedepankan pendekatan nirkekerasan dan tidak mengkriminalisasikan masyarakat adat.
5. Masyarakat sipil dan kalangan akademisi melakukan pendampingan dan penguatan pada masyarakat adat, dengan perhatian khusus pada potensi dan kerentanan khas perempuan adat, yang hingga saat ini mengalami diskriminasi.