Dampak Pengelolaan Lahan Gambut, Industri Kertas Harus Impor Bahan Baku Rp1,3 Triliun
Oleh : Herry Barus | Kamis, 13 April 2017 - 07:18 WIB
INDUSTRY.co.id - Pekanbaru - Pelaku industri kertas terpaksa mengimpor keping kayu atau "wood chip" untuk bahan baku mencapai Rp1,3 triliun per tahun, sebagai konsekuensi penerapan kebijakan baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembangunan hutan tanaman industri di lahan gambut.
"Pengusaha pasti ikuti apa perintah negara, akan taat pada aturan yang berlaku. Di sisi lain, perusahaan juga akhirnya harus impor dengan biaya yang cukup besar sampai Rp1,3 triliun per tahun supaya mesin tidak 'tidur' karena investasi yang dilakukan sudah sangat besar," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan, ketika dihubungi awak media dari Pekanbaru, Rabu (12/4/2017) Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada Februari 2017 mengeluarkan aturan pelaksanaan pemulihan ekosistem gambut melalui empat Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Salah satunya adalah Permen No. P.17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Dalam aturan itu, terdapat konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan dengan fungsi ekosistem gambut, sehingga perusahaan selaku pemegang izin harus melakukan revisi rencana kerja usaha (RKU) paling lambat 30 hari setelah menerima peta fungsi ekosistem gambut. Konsesi yang masuk dalam fungsi ekosistem gambut dan sudah ada tanaman industri, hanya dapat dipanen satu daur dan tidak boleh ditanami kembali karena wajib dilakukan pemulihan. Rusli Tan menilai, impor "wood chip" terpaksa dilakukan agar pengusaha tidak kekurangan bahan baku, sedangkan kapasitas mesin pabrik pulp dan kertas nasional kini berkisar 10-12 juta ton per tahun. Menurut dia, pelaku usaha kemungkinan besar akan melakukan impor bahan baku itu dari Malaysia. Meski dalam Permen No.17/2017 terbuka peluang bagi pengelola konsesi mengajukan lahan usaha pengganti (land swap), namun Rusli Tan menilai pelaksanaannya tidak mudah dan butuh waktu untuk mendapatkan bahan baku seperti semula. "Saya menilai kita harus duduk bersama lagi, baik dari pengusaha dan pemerintah dalam hal ini lintas kementerian yang terkait. Sebab saya melihat kebijakan ini belum komprehensif kalau dilihat dari keuntungannya bagi negara sendiri, terutama bagi tenaga kerja yang sudah ada," ujarnya.