Presiden Sukarno: Pancasila Telah Lama Tergurat dalam Jiwa Bangsa Indonesia

Oleh : kormen barus | Senin, 01 Juni 2020 - 09:08 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta-Pidato Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia pada tanggal 19 September 1951 di Universitas Gajah Mada (UGM) berkaitan dengan penganugerahan doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) atas jasanya sebagai perumus Pancasila, dasar negara RI.

Dalam pidatonya, bapak Proklamator Indonesia ini menyatakan,  “Pancasila itu, bukanlah jasa saya, karena saya dalam hal ini sekedar menjadi 'perumus' dari perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia.Pancasila itu telah lama tergurat dalam jiwa bangsa Indonesia. Saya menganggap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia.' (Soedirman Kartohadiprodjo, 1976)

Bangsa Indonesia lebih beruntung dengan pancasila. Bung Karno pernah bertanya kepada Presiden Yugoslavia, Josep Broz Tito, kurang lebih sebagai berikut: "Tuan Tito, jika anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa anda?"

Dengan bangga, Tito berkata, "Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami."

Setelah menjawab pertanyaan ini, Tito ternyata gantian bertanya, "Lalu bagaimana dengan negara anda, sahabatku?"

Dengan tenang Bung Karno berkata, "Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggali bangsaku dengan sebuah 'way of life', yaitu Pancasila."

Menurut para ahli sejarah di Serbia, di antara Indonesia dan Yugoslavia, yang paling berkemungkinan pecah atau mengalami disintegrasi seharusnya Indonesia.

Alasannya, Yugoslavia lebih beruntung dibandingkan Indonesia, karena wilayahnya tidak terpisah-pisah dan tidak beretnis sebanyak Indonesia.

Namun, pada akhirnya... bangsa Yugoslavia pecah menjadi 6 (enam) negara-negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, dan lain-lain.

Ternyata, menurut mereka, bangsa Indonesia lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup Pancasila yang menyatukan penduduknya yang terdiri atas berbagai suku/golongan dan memeluk berbagai agama dan kepercayaan.

"Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah..."

Tanpa (ideologi) Pancasila, kita bukan Indonesia. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, malahan wajar sebagai pengakuan. Pun, tidak pula sedang menempatkan Pancasila sebagai barang suci—harga mati—yang menegasikan keberadaan paham (ideologi) lain, justru sebaliknya, itu sebab disebut paham yang inklusif.

Sebagai ideologi terbuka (inklusif), mau tidak mau, Pancasila pada titik tertentu diharuskan menerima dan menghargai keberadaan paham yang bersifat ekslusif. Tanpa penerimaan ini, sifat inklusif Pancasila akan berubah menjadi ekslusif dalam dirinya; klaim Pancasila sebagai paham yang inklusif pun luntur dengan sendirinya.

Sebagai orang Indonesia yang mengaku berpaham Pancasila (Pancasilais), kita pun mesti legowo mengakui, bahkan menjadi keharusan menerima mereka yang berpaham ekslusif. Kita wajib menghargai keberadaan mereka yang menolak Pancasila atau mereka yang ingin mendirikan negara ini di atas ideologi selain Pancasila.

Tanpa praktek ini, klaim sikap inklusif kita adalah kebohongan, bertopeng inklusif semu. Sebab sikap inklusif kita rupa-rupanya bersifat diskriminatif pula: menolak mereka yang kita pandang berbeda atau dalam hal ini mereka yang menolak sikap inklusif. Andai ini yang terjadi, maka kita otomatis gagal menjadi seorang berpaham terbuka atau gagal menjadi seorang Pancasilais.

Inilah posisi, makna strategis, sekaligus ciri khas dari praktek sikap ber-Pancasila. Keluar dari pemahaman penting, bahkan mendasar ini, Indonesia pastilah bubar. Pun, kita bukanlah Indonesia.