Tsunami dan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung
INDUSTRY.co.id - Data BNPB tahun 2018 menggambarkan, ada 8 kejadian bencana alam di Indonesia yaitu puting beliung (433), banjir (374), tanah longsor (268), kebakaran hutan dan lahan (368), gelombang pasang/abrasi (11), gempa bumi (5) , letusan gunung api (4), dan kekeringan (1). Total kejadiannya 1.134. Total korban jiwa (meninggal, luka, mengungsi), rumah rusak (berat, sedang ringan) dan kerusakan fasilitas (kesehatan, peribadatan,pendidikan) mencapai 936.101.
Renungan apa yang muncul ketika kita menghubungkan antara data kebencanaan itu dengan peristiwa Tsunami yang menimpa kawasan Selat Sunda, khususnya Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung ?
Sering kali kita mendengar ungkapan : “Hidup itu harus menjaga keseimbangan”. Dalam arti bebasnya, antara lain, kita harus menjaga antara kerja keras bersifat lahir dengan kebutuhan mencari ruang untuk istirahat dan mengisi bathin dengan ketenangan, kenyamanan dan keindahan. Karena itulah, kehadiran KEK Tanjung Lesung, di kawasan Selat Sunda, bagi metropolitan seperti Jakarta, menjadi sangat penting.
Apalagi jenis wisata yang ditawarkan sangat berbeda dengan Bandung dan kawasan Puncak, dua lokasi yang saat ini menjadi obyek bagi penduduk Jakarta untuk berwisata. Tanjung Lesung berada di kawasan selat Sunda, yang memiliki hampir seluruh atribut sebagai kawasan wisata yang sangat memadai untuk mereka yang gemar berwisata pantai.
Hari Sabtu malam, 22 Desember 2018, tepat empat hari menjelang peringatan Tsunami Aceh, terjadilah tsunami di Selat Sunda yang menghantam dan memporak porandakan kawasan , menghilangkan nyawa, orang dan meningggalkan banyak orang luka. Itu semua menimbulkan duka yang mendalam dan kesedihan hingga dirasakan seluruh dunia.
Berdasarkan literature kebencanaan, setelah bencana akan dilakukan empat tahap aksi : tanggap darurat dan pemulihan kawasan, diikuti dengan rehabiitasi dan rekonstruksi, pencegahan dan bersiap untuk kemungkinan datangnya bencana di masa datang. Semua langkah itu harus dilakukan.
Termask langkah terakhir, selalu bersiap menghadapi datangnya bencana di masa datang. Kita ditakdirkan lahir dan tumbuh di kawasan planet yang hampir setiap hari ada 3 kejadian bencana alam. Kejadian yang tidak pernah dapat kita tolak, sesuai namanya itu adalah “alam”, bukan sesuatu yang rekayasa manusia.
Jangankan menolak, memahami gejalanya saja kita masih terus belajar. Baru saja kita akan mulai memahami dengan ilmu dan teknologi yang kita kuasai mengenai hubungan antara gempa bumi dan tsunami karena pengalaman tsunami di Aceh, hari ini baru sadar bahwa ada fenomena baru tentang tsunami yang diakibatkan oleh gunung muda yang sedang tumbuh. Sangat besar kemungkinan peristiwa itu hanya terjadi di Indonesia. Tidak pernah terjadi di bagian planet bumi manapun.
Artikel ini sebuah kontemplasi pendek tentang hubungan sebuah gunung yang baru tumbuh, dan tidak dapat kita hentikan, dengan pesona alam keindahan yang juga dianugerahkan Allah kepada kita, dan sudah disiapkan pemerintah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus untuk wisata pantai dengan kebutuhan manusia bukan hanya Indonesia tapi seluruh dunia.
Apapun hasil kontemplasi kita, harusnya kita tidak boleh lari dari spirit awal tetap bersikap untuk membangun kawasan ekonomi Tanjung Lesung, sebagai KEK yang merupakan sumber tumbuhnya ekonomi dengan penciptaan lapangan kerja dan industri untuk bagian Indonesia yang strategis seperti kawasan Selat Sunda. Karena kita memang berpijak diatas bumi yang paling rentan bencana.
Kita harus belajar bersikap seperti penduduk Hokkaido, ketika menghadapi gempa terhebat dengan akibat paling besar dalam sejarah gempa di Jepang, mereka tidak pindah dan mengungsi kemanapun. Mereka hanya membangun museum tentang gempa, agar mereka terus waspada. Sikap yang sama dengan penduduk Aceh, meski pernah mengalami Tsunami terdahsyat di dunia, hari ini, mereka kokoh tegak hidup dan berkarya persis di atas tanah terjadinya Tsunami.
Seharusnya itu juga tetap dilakukan dan disikapi menghadapi Tsunami di Selat Sunda. Kita hanya perlu meningkatkan tingkat kewaspadaan berpuluh dan mungkin beratus kali lebih dari sebelum Tsunami di selat Sunda. Sikap sadar dan waspada bencana, hanya itulah yang akan terus menjadi pilihan hidup kita. Bencana tidak pernah bisa memilih korban. Kita beradaptasi, bukan menghindar.
Oleh :
Bambang Setiadi Ketua Dewan Riset Nasional dan Ketua Masyarakat Akunting Sumberdaya Aalam dan Lingkungan Indonesia (MASLI)