Ahli Ungkap Kekeliruan Perhitungan Kerugian Negara dalam Sidang Kasus Korupsi Timah

INDUSTRY.co.id - JAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk periode 2017–2020, Alwin Akbar, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (14/4).
Persidangan kali ini menjadi sorotan publik setelah dua ahli yang dihadirkan menyebut adanya kekeliruan serius dalam perhitungan kerugian negara.
Salah satu saksi ahli, Gatot Supiartono, dosen Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan Indonesia sekaligus ahli audit keuangan negara, mengkritik perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Ia menilai metode yang digunakan tidak komprehensif, hanya mengacu pada harga pokok penjualan (HPP) tanpa mempertimbangkan komponen lainnya.
“Tidak cukup hanya pakai HPP. Harus dihitung juga komponen lain. Apalagi untuk kerugian lingkungan, harus nyata dan pasti. Kalau dana jaminan reklamasi belum dipakai, belum bisa dikatakan sebagai kerugian negara,†tegas Gatot di depan majelis hakim.
Lebih lanjut, Gatot menyebut BPKP terlalu cepat menyimpulkan seluruh transaksi ilegal sebagai kerugian total loss. Padahal, bila bijih timah diambil dari pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) sah atau berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PT Timah, maka transaksi tersebut seharusnya tidak dikategorikan ilegal.
Sementara itu, ahli hukum pertambangan dan administrasi negara dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., menyoroti pemahaman keliru tentang legalitas kegiatan tambang. Ia menegaskan bahwa PT Timah sebagai BUMN justru menjalankan fungsi negara dalam menertibkan tambang ilegal melalui program kemitraan.
“PT Timah tidak bisa dianggap mencuri di tanah sendiri. Justru mereka menjalankan mandat negara dengan menggandeng perusahaan untuk menyalurkan aktivitas tambang rakyat lewat mekanisme SPK,†ujar Prof. Tri Hayati.
Ia juga menekankan bahwa praktik sewa-menyewa smelter dalam industri pertambangan bukanlah tindakan ilegal selama dilakukan berdasarkan perjanjian konsesi dan bertujuan untuk efisiensi produksi.
Mengenai kerusakan lingkungan, ia menegaskan bahwa tambang memang membawa dampak, namun hal itu sudah diantisipasi melalui sistem jaminan reklamasi (jamrek).
“Kalau tidak mau ada dampak lingkungan, ya jangan menambang. Tapi tambang itu dijamin UUD 1945 Pasal 33 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,†pungkasnya.
Sebagai informasi, Alwin Akbar didakwa terlibat dalam pengakomodasian penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Ia diduga bekerja sama dengan sejumlah pihak termasuk Harvey Moeis melalui PT Refined Bangka Tin.