Inovasi Shibori, Jumputan, dan Daur Ulang: Merayakan Kesenian dan Keberlanjutan Global
INDUSTRY.co.id - Jakarta, Dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di industri fesyen, Founder – CEO FUGUKU & Founder – Creative Director SAVLAVIN, Savira Lavinia Raswari, memberikan inspirasi menarik terkait menciptakan produk daur ulang dengan pendekatan kebudayaan.
Kebudayaan yang dimaksud adalah shibori yang berasal dari Jepang dan jumputan yang notabene termasuk kebudayaan Indonesia. Inovasi dua kebudayaan dilakukan karena sebagai designer, Savira suka mengeksplorasi sesuatu yang unik. Hal ini kemudian didukung dengan riset tren.
“Dari tren research itu banyak bentuk-bentuk dari tekstil detail yang inspiratif. Dan sebenarnya riset tren itu penting supaya produk kita masih bisa nyambung dengan apa yang disukai atau dibutuhkan oleh konsumen,” ujar Savira dalam webinar yang diselenggarakan Yayasan Anugerah Cinta Kasih Sejati dan Kerja Lestari Academy, Selasa (18/03/2025)
Webinar yang dimaksud bertajuk Inovasi Shibori, Jumputan, dan Daur Ulang: Merayakan Kesenian dan Keberlanjutan Global. Dalam kegiatan ini, Savira hadir sebagai narasumber.
Menurut Savira, shibori mulai dilirik di dunia fesyen setelah terjadi simposium shibori pada 1992. Sejak saat itu, teknik shibori kian banyak digunakan.
Adapun menciptakan produk berkelanjutan melalui brand FUGUKU dengan teknik tersebut dan jumputan, merupakan inovasi yang ia lakukan, ditambah kesadaran sustainability yang tumbuh di dalam dirinya.
“Aku juga tahu bahwa sustainable itu it’s a process yang nggak mudah, nggak cepat, gitu, ya. Aku saja meriset produk mungkin kurang lebih satu tahun, ya, untuk bikin itu sebagai yang benar-benar aku mau,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menjalankan bisnis berkelanjutan termasuk dalam ranah bisnis sosial. Adapun bisnis sosial itu sendiri sebetulnya ada banyak. Selain mengolah limbah menjadi produk, ada pilihan lain.
Sebelum menentukannya, Savira memberikan tips yang bisa dilakukan sebelum memilih jenis bisnis sosial yang hendak dieksekusi.
Tips yang dimaksud adalah mengenali target market, inovasi, kualitas, memiliki strategi marketing yang efektif, produk dengan kualitas dan nilai lebih, fokus pada konsumen, dan kolaborasi.
“Sebenarnya bisnis sosial itu menurut aku banyak kok teman-teman. Karena kan kita pastinya, di saat kita mengkreasikan sesuatu, pasti ada yang kita berdayakan, gitu kan. Jadi, teman-teman coba lebih eksperimen, explore, dan dicoba saja dulu,” sarannya.
Sementara itu, dalam menentukan brand positioning, Savira mengatakan ada 10 hal yang perlu dilakukan. Antara lain: pahami target pasar, analisis pesaing, identifikasi keunikan merek, proposisi nilai yang jelas, dan menentukan segmen pasar dan kepribadian merek.
Lalu, pilih strategi penempatan yang sesuai, buat pesan pemasaran yang konsisten, komunikasikan melalui berbagai saluran, pantau serta evaluasi, dan fleksibilitas serta adaptasi.
“Nah, kita nih kalau pengen masuk market global, itu sudah treatment yang berbeda sendiri. Tapi, teman-teman jangan khawatir. Biasanya kalau produk kita saja sudah diterima di negara kita sendiri, most likely negara lain suka juga,” ucapnya.
Di samping itu, kata Savira, produk berkelanjutan di pasar internasional memang banyak diminati. Akan tetapi, meskipun peluangnya besar, dia mengingatkan agar tidak melupakan selera.
“Kalau kita sudah ngomongin masalah global, itu lebih ke selera. Jadi, terkadang apa yang disukai di sini belum tentu disukai di sana. Dan kebalikan juga, apa yang disukai di sana belum tentu di sini suka. Nah, itu kita harus jeli, ya, untuk melihat market itu tuh seperti apa di sana, gitu. Harus rajin-rajin cari tahu,” jelasnya.