60 Perusahaan Tutup, Order Sepi Hingga PHK Merajalela, Ekosistem Tekstil Geram Sri Mulyani Bilang Industri TPT Baik-baik Saja
INDUSTRY.co.id - Jakarta – Kalangan pertekstilan nasional buka suara terkait pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyebut bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih dalam keadaan kuat dengan pertumbuhan 4,3% di tahun 2024 (yoy) meski ada beberapa perusahaan yang tutup.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman mempertanyakan korelasi antar data yang disampaikan Menkeu dengan kondisi dilapangan. Pasalnya, dalam dua tahun terakhir seluruh anngota IPKB mengalami sepi order, bahkan sebagian besar sudah merumahkan karyawan karena harus beroperasi dibawah 50%.
“Paling ada kenaikan order waktu bulan Februari sampai April 2024 itupun ketika Permendag 36/2023 masih berlaku, setelah itu sampai sekarang sepi lagi,” kata Nandi melalui keterangan resminya di Jakarta (17/3).
Dirinya menganggap bahwa data yang disampaikan Menkeu ada kekeliruan karena berbeda jauh dengan fakta dilapangan. “IKM ambruk, industri menengah besar yang tutu pada 60, PHK ratusan ribu, mana mungkin pertumbuhannya positif?,” tegasnya.
Oleh karena itu, Nandi minta Menkeu untuk fokus pada pemberantasan mafia impor ditubuh Bea Cukai untuk menyelamatkan sektor TPT nasional daripada mencari pembenaran memberi angin surga.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto menyebut bahwa data yang dipakai Menkeu sangat keliru, karena tidak memasukan data impor yang masuk secara ilegal.
“Data trademap memperlihatkan gap TPT perdagangan selisihnya di 2024 sekitar USD 1,7 miliar, kalau nilai ini masuk perhitungan maka akan jadi pengurang dalam perhitungan kinerja di neraca perdagangan,” kata Agus.
“Tap ikan barangnya masuk dan beredar di pasar dalam negeri, jadi survey konsumsi BPS memasukkan barang impor ilegal ini sebagai produksi dalam negeri, maka wajar kalau angka pertumbuhan industri TPT versi BPS jadi positif. Dan untuk menutupi kinerja buruk Bea Cukai, Ibu Menkeu sangat senang mem-publish data ini,” tambahnya.
Terlabih jika dikorelasikan dengan data dari Asosiasi yang tingkat utilisasi produksi rata-rata nasional terus turun dari 74,4% di tahun 2022 menjadi 63,8% di tahun 2023 dan 56,3% di tahun 2024. Begitu juga dengan korelasi penggunaan energi dimana sebelumnya PT PLN menyatakan ke khawatirannya karena konsumsi listrik sektor TPT terus turun.
Dirinya pun mengkritik sikap Menkeu sebagai ekonom yang tidak jeli terhadap aktifitas ekonomi ilegal. Menurut Agus, tertutupnya mata sang ekonom membuat rasio pajak Indonesia sangat rendah, dan pertumbuhan ekonomi pas-pasan karena koleksi pandapatan yang rendah.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengamini pernyataan KAHMI terkait data pertumbuhan yang dinilai tidak utuh. “Tapi BPS tidak salah juga karena memang data impornya didapat dari Bea Cukai,” terang Redma.
Meski demikian, dia membenarkan data ekspor yang naik 3,8% dan permintaan domestik yang diklaim sebagai penopang pertumbuhan. “Tapi ekspor ini terkait dengan harga bahan baku, kalau bahan baku naik pasti harga jual juga naik dan tidak ada hubungannya dengan volume, sedangkan utilisasi dan penyerapan tenaga kerja kan dihitungnya berdasarkan volume,” jelas Redma.
“Demikian halnya dengan permintaan domestik yang dinilai APSyFI masih cukup baik, hanya saja sebagian besar yang dikonsumsinya adalah barang impor,” lanjutnya.
Namun, Redma lebih mengkhawatirkan turunnya kepercayaan investor dari kekeliruan data ini, sebab dari 60 perusahaan yang tutup beberapa diantaranya adalah PMA. “Jika data yang disajikan pemerintah berbeda 180 derajat dengan realita dilapangan tentu jadi pertanyaan investor,” ungkap Redma.
Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), Ardiman pribadi membenarkan bahwa berdasarkan pantauannya, barang-barang impor saat ini menguasai pasar domestik.
“Kita lihat di Mangga Dua, Tanah Abang dan di semua ITC di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan berbagai Kota di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan sampai pada platform online, sekitar 70%-nya adalah barang impor. Kasat mata gampang dilihat, karena barang-barang ini labelnya masih pakai aksara Tiongkok,” tutupnya.