Hilirisasi Nikel Perlu Transformasi Menuju Industri Hijau Bila Ingin Ciptakan Green Jobs
INDUSTRY.co.id-Jakarta âPemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen yang tercantum dalam Asta Cita. Keseriusan ini dibuktikan dengan pembentukan satuan tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 pada 3 Januari lalu.
Presiden Prabowo menunjuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, sebagai ketua satgas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui percepatan hilirisasi di berbagai sektor, termasuk nikel, serta mempercepat terwujudnya ketahanan energi nasional.
Kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2â21,6% serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir. Namun sejumlah fakta yang terangkum dalam studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan. Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel cenderung stagnan bahkan di dua daerah, yaitu Halmahera Selatan dan Konawe cenderung meningkat. Dampak kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran lingkungan serta dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat menjadi tantangan yang membutuhkan perhatian besar dari pemerintah.
Apabila pemerintah serius berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup, sebagai prioritas ke-11 dari 17 program prioritas Pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan hilirisasi nikel sudah seharusnya lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.
Di tengah ancaman krisis iklim yang tengah terjadi, dekarbonisasi industri dan transformasi ekonomi ke arah ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan menjadi kondisi ideal yang harus dicapai. Peluncuran hasil studi Koaksi Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan momentum 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran menyoroti dinamika kepentingan yang kompleks pada kebijakan hilirisasi nikel dan keterkaitannya dengan kemungkinan penciptaan lapangan kerja hijau atau Green Jobs di Indonesia. Studi ini sekaligus mengingatkan kembali komitmen Presiden Prabowo pada pertemuan G20 untuk membawa Indonesia menuju transisi energi hijau yang berkelanjutan sebagai bagian dari kontribusi terhadap pencapaian Net Zero Emission Indonesia dan pembangunan global. Hasil studi menunjukkan, pemerintah dan industri memiliki pekerjaan rumah yang signifikan untuk memastikan hilirisasi nikel tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dua komponen kunci, yaitu pelestarian lingkungan dan keadilan sosial termasuk penciptaan pekerjaan yang mengakui hak-hak pekerja serta melindungi keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Keduanya merupakan inti dari Green Jobs yang adil, berkelanjutan, dan inklusif. Menegaskan hasil penelitian itu, Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs.
âTernyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan.â
Untuk itu, industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab. Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.
Studi ini juga menunjukkan bahwa narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih karena pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara yang menghasilkan emisi GRK tinggi. Dari kapasitas 18 gigawatt (GW) pembangunan PLTU yang direncanakan pemerintah, 13 GW untuk mendukung industri nikel. Akuntabilitas dan transparansi data perlu ditingkatkan agar hilirisasi nikel selaras dengan tujuan transisi energi bersih. Dari beragam narasi yang berkembang, studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak baik pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil untuk memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan bersama.
Menanggapi geliat industri nikel yang semakin berpeluang menciptakan Green Jobs, Taufik Achmad, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian mengatakan, âSmelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun di dalam proses produksinya kalau tidak melakukan dekarbonisasi ya percuma. Jadi, ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran.â
Geliat hilirisasi ini, tambah Achmad, masih didominasi sektor energi. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan nonmigas saat ini masih belum tersentuh. Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri. Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel. âKebutuhan energi yang besar dalam smelter apabila digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT) tentu akan menciptakan Green Jobs tidak hanya di smelter itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,â ujar Reza Rahmaditio, Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia.
Dengan kata lain, hilirisasi nikel ini berpotensi tidak hanya untuk produksi nikel, tapi sebenarnya hilirisasi nikel ini bisa memberikan spill over effect pada industri-industri pendukung, terutama industri smelter.
Rantai pasok nikel secara keseluruhan disoroti oleh Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Dia mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia. Salah satunya paspor baterai yang harus dimiliki nikel Indonesia apabila ingin jalan-jalan ke Eropa, yaitu ESG. Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba. Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis. Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu.
Dengan situasi saat ini, Meidy dan APNI menegaskan perlunya mencari solusi bersama. âApril tahun ini, kami akan menggandeng Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute, pakar-pakar dunia untuk melihat. Jangan membuat daftar yang hanya sesuai untuk Eropa karena beda sekali prosesnya. Kami harus meng-handle 300 tambang yang ada di kepulauan. Tentu, efeknya ada pekerjaan baru, namun perlu ada training yang proper, tunjangannya sudah layak belum, apakah sudah comply dengan kehidupan mereka di sana?â ungkap Meidy.
Sementara untuk tantangan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, Meidy mengajak untuk mencari solusi bersama terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 36 Tahun 2023. Meidy menyampaikan juga, dalam menetapkan RKAB bagi perusahaan tambang nikel, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan permintaan dari industri smelter, namun perlu melihat perkembangan harga dan demand nikel global.
Menanggapi penciptaan pekerjaan layak sebagai salah satu komponen kunci dalam Green Jobs, Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya menjelaskan kebijakan yang berkaitan dengan penutupan pertambangan karena isu kerusakan lingkungan. Namun, pemerintah perlu melihat pekerja yang merasakan. Pekerja merasa bahwa jika ini memang isu yang penting, seharusnya pemerintah akan melakukan sosialisasi yang masif untuk para pekerja bertransisi. Elly menegaskan, pemerintah perlu melihat upah pekerja di industri nikel saat ini jauh lebih rendah dari biaya hidup di sana.
âBegitu pula dengan isu Green Jobs. Green Jobs yang sudah lama digaungkan, kabarnya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan dari transisi energi. Namun, pernahkah pemerintah melihat berapa persen pekerja yang sudah memahami isu ini? Lalu, bagaimana dengan ketersediaan infrastruktur atau skill yang dipersiapkan untuk pekerjaan ini?â Pemerintah juga tidak pernah menjelaskan bagaimana peran dan peluang yang bisa diambil pekerja, nyatanya masih banyak pengangguran.
Oleh karena itu, serikat buruh mengusulkan, âPerlindungan hak dan keselamatan kerja, peningkatan keterampilan (upskilling and reskilling), pengembangan ekosistem tenaga kerja, advokasi dan dialog sosial, serta perlindungan sosial dan intensif.â
Hasil studi Koaksi Indonesia dan paparan para pemangku kepentingan di atas membuktikan bahwa perjalanan hilirisasi nikel menjadi Green Jobs masihlah panjang. Bagaimana peran media mengawal perjalanan ini? Robby Irfany Maqoma, Environment Editor The Conversation Indonesia mengungkapkan bahwa pembahasan hilirisasi nikel di tahun 2022 masih sebatas pemberitaan yang monoton dengan pembaca yang itu-itu saja. Semenjak adanya media sosial, dia mengatakan ada perspektif baru dari pemberitaan di media sosial yang mengangkat cerita lain langsung dari masyarakat.
Dia juga menyebutkan 59% anak muda sangat perhatian dengan isu lingkungan, ada 48,7 juta angkatan kerja, dan 102 juta pengguna media sosial, media sosial menjadi wadah yang besar untuk merebut momentum narasi hilirisasi nikel.
âCaranya dengan berkolaborasi menggaet berbagai aktor dari CSO karena CSO-lah yang membuat narasi-narasi ini. CSO yang memantau dan mengadvokasi; akademisi karena dari riset-riset yang sifatnya saintifik bisa mengarahkan narasi yang benar; media lokal karena pelaporan yang mengakar; konten kreator karena lebih banyak orang yang melihat konten dan konten viral berkat content creator; dan media nasional karena untuk meningkatkan daya tawar. Mereka duduk bareng untuk menggaungkan narasi hilirisasi nikel ini,â kata Robby.
Koaksi Indonesia berharap hasil pertemuan ini dapat memperkuat pemikiran kritis jurnalis dan jejaring media massa khususnya untuk isu hilirisasi nikel dalam penciptaan pekerjaan hijau. Peningkatan porsi pemberitaan yang didasari pemikiran kritis semoga membuka mata publik betapa pentingnya kebijakan hilirisasi nikel yang berfokus pada pelestarian lingkungan dan penciptaan pekerjaan layak.
Hasil diskusi ini juga akan disampaikan sebagai bentuk rekomendasi kepada pemerintah agar kebijakan hilirisasi nikel saat ini dapat mengakomodasi diskursus yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, jalan panjang hilirisasi nikel untuk menciptakan pekerjaan hijau dapat diwujudkan.