Industri Petrokimia Nasional Butuh Perhatian Pemerintah, Investasi Triliunan Perlu Kepastian Regulasi
INDUSTRY.co.id -Jakarta – Industri petrokomia memiliki peran penting dalam menopang sektor hulu manufaktur nasional. Pasalnya, produk kimia yang dihasilkan dapat diolah berbagai industri seperti, palstik, tekstil, farmasi, kosmetik, dan obat-obatan.
Meski demikian, para pelaku usaha menilai ada berbagai hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) dan tantangan bagi industri petrokimia nasional.
Ketua Komisi Tetap Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Achmad Widjaja mengatakan, industri hulu petrokimia saat ini sulit bergerak karena terlalu banyak kebijakan yang tidak mendukung. Contohnya, investasi dari luar seperti, Lotte Group yang memerlukan waktu panjang sebelum akhirnya masuk ke dalam negeri.
“Seperti Lotte, kan sampai makan waktu berapa tahun itu. Hal ini seharusnya menjadi koreksi pemerintah,” kata Achmad Widjaja melalui keterangan resminya di Jakarta (20/12).
Demi menarik investor lain untuk bisa masuk ke pasar dalam negeri, maka pemerintah harus bisa memberikan paket kebijakan yang menarik diantaranya, tax holiday dengan waktu panjang, mengingat industri petrokimia memerlukan investasi yang besar.
“Nah itu harus dibebasin pajak lah yang peling penting, investasinya tax holiday nya minimal 20 tahun seperti di Vietnam. Kalau tidak, kitab isa kalah dari Vietnam dan Malaysia, karena memang mereka kasih minimum 20 tahun,” terang pria yang sering disapa AW.
Menurutnya, investasi di sektor industri petrokimia dapat membuat Indonesia menatap pertumbuhan ekonomi 8%, sesuai cita-cita Presiden Prabowo Subianto. Namun, pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar industri bisa semakin ekspansif.
“Untuk mencapai 8% caranya cuma satu. 5% itu kan sudah diberikan secara Cuma-Cuma sejak Covid tidak pernah turun yaitu, kontribusi industri primer, tambang dan lain-lain. 3% itu pemerintah cukup menjaga iklim pengelolaan industri. Untuk menjaga iklim perekonomian yang menuju 8%, 3% itu industri sekunder menjadi kontribusi dari industrialisasi pengelolaan. Untuk itu jangan terlalu banyak mengeluarkan peraturan-peraturan baru atau Kepmen-Kepmen atau kebijakan baru,” papar Achmad Widjaja.
Dirinya menilai industri petrokimia nasional bergantung pada kondisi minyak dan gas bumi sebagai bahan baku utama. Untuk menjalankan arah industri yang lebih terukur, maka peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti, Pertamina juga sangatlah penting, utamanya dalam mengelola industri di sisi hulu demi menjalankan Refinery Development Master Plan (RDMP).
“Sejak demokrasi, belum pernah ada BUMN-BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman modal dalam negeri dengan full hulunya terutama di Pertamina. Integrated plan-nya uang disebut RDMP kan. RDMP itu tidak berjalan, kilang tidak jalan, semuanya nggak jalan. BUMN-BUMN itu bisa ditugaskan seperti contoh Pertamina, ditugaskan total untuk menjadi bagian daripada penyertaan pemerintah melakukan revolusi industri di dalam hulu,” terang AW.
Sementara itu, Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Hari Supriyadi menilai salah satu regulasi yang diperlukan dunia saat ini yaitu keberlanjutan yang jelas dari investasi petrokimia, misalnya kontrak jangka panjang untuk gas.
“Dan kita kontraaknya tiu jangan pendek-pendek. Bagaimana kitab isa hilirisasi, gimana kita bisa ekspansi? Kontraak gas itu kan Cuma lima tahun, nggak bisa. Karena industri petrochemical kan hidupnya harus 20 tahun, investasinya triliunan,” kata Hari.
Selain persoalan kontrak, perlu juga Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang merata unutk semua pelaku industri petrokimi. Sayangnya, tidak semua merasakan kebijakan HGBT sebesar USD 6 per MMBTU. Padahal, industri petrokimia masuk ke dalam tujuh sektor prioritas.
“Atau bahkan bisa lebih rendah lagi dari USD 6 per MMBTU. Dan semua industri no one left behind, sekarang kan dipilih-pilih, dipilih-pilih yang tertentu. Harusnya semuanya kami uda dapat rekomendasi dari Kemenperin, tapi di ESDM tidak dieksekusi. Ada ratusan perusahaan yang sudah direkomendasikan tapi tidak dapat, meskipun masuk tujuh sektor, tapi tidak bisa dieksekusi ESDM,” jelas Hari yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Industri Penghasil Petrokimia Indonesia.
Menurutnya, jika industri petrokimia bisa berlari kencang, maka semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka. Saat ini di perusahaan besar industri petrokimia bisa menampung ribuan pekerjaan, termasuk yang terikat dalam rantai pasok.
“Kalau kita tidak bisa terutilisasi 100%, makin turun, ya, otomatis sejalan dengan tenaga kerja. Meskipun industri petrokimia bukan padat karya tetapi tetap akan mempengaruhi. Karena industri petrokimia tetap ada rantai pasoknya, ada vendor-vendor kecil. Kalau kita menurun kan mereka juga akan menurun. Jelas berdampak. Jadi rantai pasok yang mungkin terdampak tuh sampai ribuan orang juga,” sebut Hari.
Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Wiwik Pudjiastuti menyampaikan, pemerintah terus mengupayakan strategi agar situasi industri petrokimia bisa lebih kondusif. Untuk memantau produk impor, misalnya, pemerintah tengah mematangkan instrumen neraca komoditas.
Sistem tersebut diperlukan lantaran produk petrokimia dan turunannya masih didominasi produk impor. Padahal, industri petrokimia dalam negeri tengah berjuang memperkuat rantai pasok produksi.
Dalam catatan Kemenperin, produk petrokimia nasional meliputi olefin memiliki kapasitas produksi mencapai 9,72 juta ton, sementara produk aromatik 4,61 juta ton, dan produk C1 metanol dan turunannya sebesar 980.000 ton.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," tutupnya.