Impor Garam Dibatasi, Industri Bingung Cari Bahan Baku
INDUSTRY.co.id - Yogyakarta - Pemerintah terus mendorong penyerapan garam lokal untuk mewujudkan swasembada garam. Pada tahun 2025, Kementerian Koordinator Pangan telah memutuskan kuota impor garam industri ditetapkan sebesar 1,7 juta ton hanya untuk kebutuhan industri tertentu yakni industri chlor alkali plant (CAP).
Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita mengungkapkan bahwa sektor industri sangat siap menyerap garam dalam negeri. Namun, pasokan dan kualitas garam lokal belum memenuhi standar yang dibutuhkan oleh industri.
“Sebenarnya industri tanpa dipaksa juga ingin, ingin dapat bahan baku dari dalam negeri gitu kan. Tapi memang kondisinya tidak memungkinkan. Pasokan dan kaulitas nya masih bekum memenuhi standar yang dibutuhkan industri," kata Reni disela-sela acara "Outlook Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil" di Yogyakarta (17/12).
Dirinya menyoroti terkait kuota impor garam industri yang sebesar 1,7 juta ton hanya untuk industri chlor alkali plant (CAP). Artinya, industri lain seperti farmasi, kosmetik dan aneka pangan belum mendapatkan kuota impor garam untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kementerian Perindustrian perlu mengajukan relaksasi kuota impor garam bagi industri selain CAP.
“Tapi sekali lagi, PR-nya untuk yang farmasi ini belum, belum ketemu (alternatif) karena ketika industri tersebut mengganti sumbernya dia harus mengajukan izinnya, harus memperbarui izin sementara mengejar terbitnya izin dengan dia harus menyediakan kebutuhan,” jelas Reni.
Dikesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai kebijakan penghentian impor garam berpotensi menyebabkan kelangkaan bahan baku industri.
Menurutnya, jika terjadi kelangkaan akibat importasi garam yang dihentikan, maka produksi industri terkait akan mengalami gangguan.
"Kalau seperti ini, apakah bisa kita swasembada garam di 2027? Ya susah. Yang padti harua jelas ya, garamkan salah satu bahan baku yang dibutuhkan untuk industri, kalau sampai ada kelangkaan tidak cukup, nah ini akan mempengaruhi pada industri ya," terang Faisal.
Faisal mengatakan pemerintah harus memperhatikan dan menjaga suplai garam untuk industri dengan meningkatkan kapasitas produksi garam lokal berkualitas.
Hanya saja, lanjut Faisal, pemerintah disarankan tidak memaksakan swasembada garam ini dengan menghentikan impor, meski ada penambahan kapasitas produksi garam lokal berkualitas.
Sebab, jika kinerja industri manufaktur terganggu, maka akan menimbulkan banyak dampak negatif, termasuk terkait berkurangnya lapangan pekerjaan.
“Tapi jangan memaksakan kemudian ketika suplai tidak cukup, di-stop atau dikurangi, nanti yang kena adalah produksinya. Dan itu dampaknya bisa lebih besar juga. Karena industri manufaktur, kan dari sisi pencipta lapangan pekerjaannya juga jauh lebih besar,” terangnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan, impor garam merupakan suatu keterpaksaan lantaran kualitas garam lokal belum bisa memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan industri.
"Padahal, anggota AIPGI siap menyerap garam lokal sebagai dukungan swasembada pangan pemerintah," terangnya.
Meski demikian, AIPGI tidak membeberkan kebutuhan garam untuk industri farmasi dan makanan-minuman (mamin). Yang pasti, kedua sektor ini akan sangat dirugikan oleh kebijakan pembatasan impor garam.
Sebagai contoh, industri farmasi sangat membutuhkan garam untuk pembuatan cairan infus yang digunakan banyak pasien rumah sakit di seluruh Indonesia. Garam juga digunakan oleh industri mamin untuk berbagai produk, seperti penyedap masakan.
"Jangan sampai perusahaan-perusahaan di sektor ini mengalami penurunan kinerja hingga merelokasikan pabriknya hanya karena masalah garam," tegas dia.
Cucu juga menyatakan, pemerintah mesti bersikap realistis melihat keadaan sekarang. Meski memiliki garis pantai yang panjang, faktanya sentra garam di Indonesia hanya ada di beberapa kota tertentu saja seperti Cirebon, Indramayu, Karawang, Pati, Rembang, dan Madura.
Belum lagi, produksi garam di Indonesia mayoritas masih dilakukan dengan cara-cara tradisional dan sangat bergantung cuaca atau iklim. Faktor-faktor tersebut yang membuat garam lokal sulit diserap industri dalam negeri.
"Garam itu tidak sekadar putih saja, harus diperhatikan kadar zat-zat lain seperti natrium klorida, magnesium, kalsium, dan lain-lain," tutup Cucu.