Akal-akalan Mematuhi Kebijakan Anti-Deforestasi Uni-Eropa (EUDR): Jurus Baru Bernama National Dashboard

Oleh : Kormen Barus | Selasa, 17 Desember 2024 - 17:14 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta– Sidang pleno 14 November 2024 Parlemen Eropa akhirnya setuju untuk menunda implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) selama satu tahun. Dengan keputusan ini, kewajiban untuk mematuhi regulasi mulai berlaku pada 30 Desember 2025 bagi pelaku usaha besar, sementara usaha mikro dan kecil diberi kelonggaran hingga 30 Juni 2026. Perpanjangan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu tambahan bagi pelaku bisnis global agar dapat mematuhi aturan tersebut tanpa mengganggu tujuan utama regulasi.

Melihat waktu hadirnya EUDR hingga pemberlakuannya Desember 2026, terdapat waktu bagi negara-negara produsen sebanyak 2 tahun 6 bulan untuk beradaptasi dengan EUDR. Namun yang paling besar dilakukan pemerintah hingga saat ini baru sebatas membentuk National Dashboard Indonesia melalui Keputusan Menko Perekonomian (Kepmenko) Nomor 178 Tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia.

Pemerintah mengklaim pengembangan Dasbor Nasional dapat memperbaiki tata kelola komoditas berkelanjutan dan sistem traceability untuk menjawab EUDR. Alih-alih demikian, pembentukan Dasbor Nasional justru tidak sesuai dengan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa tersebut. Pemerintah Indonesia menginginkan Uni Eropa dapat mengacu pada sistem ini dalam pemenuhan prosedur dan implementasi EUDR yang sesuai dengan standar no deforestation. Masalahnya, tidak ada sistem transparan yang pernah dibangun Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil menduga Dasbor Nasional hanyalah sebagai sistem untuk menutup rantai pasok minyak sawit kotor di tanah air.

Langkah Pemerintah Indonesia untuk menjawab tuntutan kebijakan EUDR (European Deforestation Regulation) justru akan menyulitkan pelaku usaha untuk melaksanakan EUDR. Apalagi, sistem informasi melalui Dasbor Nasional yang digadang untuk memfasilitasi ekspor komoditas Indonesia ke pasar EU hingga saat ini belum mendapat lampu hijau dari pihak EU. Di kesempatan lain, EU telah mengkonfirmasi bahwa sistem informasi yang di bangun oleh EU untuk pelaksanaan EUDR tidak akan mengacu kepada sistem informasi yang dibangun di negara lain.

Mansuetus Darto, Dewan Nasional SPKS meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak menghabiskan waktu dengan mengurus Dasbor Nasional tersebut dan fokus pada penguatan traceability, penguatan SDM birokrasi hingga daerah dan pelaku usaha termasuk petani kecil agar dapat mematuhi UDR. Apalagi dalam kebijakan EUDR, tidak ada kewajiban bagi Pemerintah di negara produsen untuk membangun sistem informasi yang dijadikan rujukan untuk memfasilitasi ekspor komoditas ke Pasar EU. Lagi pula, EU menyiapkan sistem informasinya sendiri dalam implementasi EUDR di semua negara produsen. Pengembangan Dasbor Nasional justru akan menjadi bumerang bagi Pemerintah Indonesia. Sistem informasi yang dibangun tidak menjamin adanya perbaikan tata kelola sawit nasional.

“Sejumlah isu penting tidak diadopsi dalam Dasbor Nasional. Ini hanya sistem informasi biasa namun tidak dapat menjanjikan perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan tanpa deforestasi dan pelanggaran HAM. Masyarakat di akar rumput tidak dapat mengakses informasi apapun dalam sistem tersebut untuk mengetahui korporasi yang ada di sekitar mereka di daerah. Apalagi sistem ini tidak mengenal complaint mechanism,” kata Darto.

Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa publik atau organisasi masyarakat sipil yang dekat dengan isu kerakyatan dan lingkungan tidak dapat membuka QR code sebab dalam QR code tersebut tercantum beberapa informasi penting tentang kepatuhan (compliance) dari perusahaan atau komoditas yang ada. Akses terhadap QR code hanya dapat diberikan kepada konsumen atau otoritas yang diijinkan oleh oleh otoritas National Dashboard.

“Jelas di sini bahwa, Dasbor Nasional tidak transparan. Bagi masyarakat sipil, kepastian data dan informasi yang diinput dalam sistem tersebut bukanlah data yang salah dan menjamin bahwa perusahaan atau komoditas apapun tidak melakukan deforestasi dan telah melakukan uji tuntas dengan baik”, jelas Darto.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengkhawatirkan Dasbor Nasional akan menimbulkan overlapping dalam pembentukan sistem informasi yang selama ini sudah ada di sejumlah Kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ATR/BPN.

“Belum lagi masalah akuntabilitas dari sistem informasi yang dibangun. Sudah banyak sistem yang ada, misalnya terkait komoditas perkebunan sawit, salah satunya SIPERIBUN. Dalam implementasinya sistem ini justru tidak dapat menjamin semua pelaku usaha untuk melakukan self-reporting terhadap SIPERIBUN. Masyarakat juga belum mendapat manfaat dari sistem yang dibangun, karena seharusnya dengan sistem informasi, Pemerintah dapat mengevaluasi perizinan dan hak atas tanah dari semua pelaku usaha. Sehingga ada jaminan bagi masyarakat untuk mengakses data dan memperoleh pengembalian tanah berkonflik dari pelaku usaha yang terindikasi memiliki konsesi perkebunan yang melebihi hak atas tanah atau HGU mereka,” jelas Rambo.

Pemerintah, lanjut Rambo, cukup mengintegrasikan SIPERIBUN, ESTDB sebagai basis data di hulu dengan sistem informasi ekspor komoditas, seperti INATRADE (Kementerian Perdagangan) dan CEISA (Ditjen Bea Cukai) serta mengembangkan platform Plantation Commodity One Map Indonesia (PCOPI) sebagai sistem basis data spasial yang terintegrasi. Lebih baik menurut Rambo, pemerintah fokus pada tata kelola komoditas sawit denga mendorong penguatan petani swadaya dalam rantai pasok. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: Pertama, penguatan data dan legalitas petani swadaya melalui pemetaan, pendataan dan penerbitan STDB. Kedua, mendorong konsolidasi petani swadaya melalui penguatan kelembagaan petani dengan membentuk KUD petani swadaya. Ketiga, memperbaiki tata niaga komoditas sawit dan lainnya dengan mendorong kemitraan antara petani swadaya dan pabrik pengolahan, dimana kemitraan ini harus memenuhi prinsip kesetaraan, jaminan harga, jaminan pasokan dan jamin keberlanjutan. Keempat mendorong pengembangan pabrik kelapa sawit (PKS) mini atau pabrik mini bagi komoditas lainnya, yang dikelola secara profesional oleh KUD/BUMDes, dimana kepemilikannya oleh para petani swadaya. Grahat Nagara, Akademisi STHI Jentera menyatakan bahwa praktik menggunakan sistem informasi seperti Dasbor harus dipastikan agar tidak menjadi pintu masuk moral hazard birokrasi, apalagi mengingat sebagian besar sistem informasi itu tidak terbuka untuk publik.

Saat ini keberadaan sistem informasi belum banyak yang berhasil menjadi instrumen tata kelola. Secara sederhana misalnya, tidak ada satupun informasi berbasis ketelusuran itu yang bersifat terbuka dan menjadi dasar uji akuntabilitas publik. “Kasus ekspor ilegal minyak sawit seharusnya menjadi contoh, bagaimana alat-alat piranti elektronik yang dikelola pemerintah dapat menjadi alat untuk mengendalikan pertukaran dan asimetri informasi. Fungsi pemerintah sebenarnya seharusnya mengatur dan mengelola kepentingan publik dari informasi ketertelusuran itu. Yaitu, dengan memastikan bahwa informasi tersebut terbuka luas pada publik. Kalau memang mau mendukung penguatan tata kelola, saya pikir tugas pemerintah itu melakukan revisi terhadap keputusan pejabat negara mengenai daftar informasi dikecualikan. Di Kementerian Pertanian tahun 2022, melalui SK Sekjen Nomor 19 Tahun 2022, misalnya, data perizinan dan peta perkebunan ditutup dengan alasan menunjukkan kekayaan alam Indonesia. Padahal, dengan argumen itu yang tidak bisa mengakses justru publik yang punya kepentingan terhadap dampak dari kebijakan eksploitasi sumber daya alam,” terang Grahat.

Sayyidatihayaa Afra, Peneliti Satya Bumi mengkritisi kebijakan Dasbor Nasional yang tidak dibangun dengan sistem yang transparan dan menjamin akses bagi publik. Sistem informasi yang terkait dengan komoditas berkelanjutan seharusnya lebih kredibel sehingga mampu dipercaya dan mengangkat nilai komoditas yang lebih kompetitif di pasar global.

“Dalam pertemuan JTF di Brussel, Perwakilan Pemerintah Indonesia mempersoalkan sejumlah persyaratan EUDR yang dianggap mengancam keamanan data privasi. Lantaran dalam EUDR persyaratan transparansi dan data bukti keterlacakan (traceability) serta uji tuntas (due diligence) wajib dilakukan. Pemerintah berdalih pemberian data dan informasi kepada negara lain melanggar Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Padahal merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi tidak melarang adanya berbagi data, kecuali data-data tertentu yang mencangkup data individu tanpa persetujuan” jelas Hayaa.