Catat Baik-baik! Kemenperin: Kebijakan TKDN Justru Lindungi Investasi di Indonesia

Oleh : Candra Mata | Sabtu, 30 November 2024 - 16:33 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) justru melindungi investasi manufaktur dalam negeri. Perlindungan diberikan dalam bentuk menjaga permintaan pasar domestik terutama yang berasal belanja pemerintah dan BUMN/BUMD. Selain itu, permintaan domestik atas produk elektronik yang menggunakan frekuensi publik seperti ponsel, komputer genggam, dan tablet (HKT), televisi, dan lainnya juga terjaga permintaan domestiknya oleh kebijakan TKDN melalui belanja konsumsi rumah tangga.

Potensi pasar domestik Indonesia masih sangat tinggi terutama untuk belanja produk manufaktur. Pada tahun 2024 ini belanja pemerintah atas produk manufaktur domestik diperkirakan mencapai Rp 1.441 triliun. Begitu juga dengan belanja konsumsi rumah tangga atas produk HKT mencapai lebih dari Rp100 triliun tiap tahunnya. Begitu juga dengan penduduk Indonesia yang memiliki rekening di atas Rp2 miliar juga semakin banyak setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ditargetkan mencapai 7-8 persen pada tahun 2028 nanti.

Kebijakan TKDN pada dasarnya untuk melindungi investasi di Indonesia, termasuk penanaman modal asing. Produk manufaktur dari investasi asing tersebut bisa diserap oleh pasar domestik terutama melalui belanja pemerintah dan BUMN/BUMD atau rumah tangga dalam bentuk belanja produk elektronik yang menggunakan frekuensi publik.

“Besarnya daya tarik pasar domestik ini harus kami manfaatkan sepenuhnya untuk menarik investor asing dari berbagai negara melalui kebijakan TKDN. Hal ini guna melakukan pendalaman struktur industri dalam negeri dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. TKDN merupakan karpet merah bagi investor luar negeri yang ingin membangun fasilitas produksi dan sekaligus menjual produknya di Indonesia. Kami tentu berkewajiban menjamin keberlangsungan investasi tersebut,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Jumat (29/11).

Pernyataan Jubir Kemenperin tersebut menanggapi laporan investasi yang dikeluarkan oleh AmCham Indonesia dan the US Chamber of Commerce. Seperti disampaikan managing director AmCham Indonesia, Lydia Ruddy, aturan local content di Indonesia masih menjadi salah satu hambatan besar bagi investasi asal Amerika Serikat. Menurut laporan tersebut, investor asal AS yang sebagian besar merupakan bagian dari rantai pasok global tidak akan merasa nyaman untuk datang dan berinvestasi di Indonesia jika mereka tidak bisa mendapatkan komponen yang mereka butuhkan dengan kualitas yang sesuai.

Febri menegasan, kebijakan TKDN berlaku untuk semua produk manufaktur tanpa diskriminasi atau keistimewaan terhadap asal negara investor tersebut. Semua fasilitas produksi yang dibangun di Indonesia dan menghasilkan produk manufaktur berhak mendapatkan sertifikat TKDN sesuai dengan regulasi yang berlaku. Begitu juga dengan produk dari berbagai tingkatan perusahaan industri, baik dari industri kecil, menengah, besar atau dari perusahan manufaktur global dengan teknologi tinggi juga memiliki hak yang sama dalam kebijakan TKDN sesuai dengan regulasi di Indonesia.

Penerapan kebijakan TKDN juga tidak berarti Indonesia bersikap anti terhadap impor bahan baku industri. Impor bahan baku tetap diperkenankan dan dipertimbangkan dalam sertifikasi TKDN sepanjang bahan baku tersebut memang belum bisa diproduksi dari dalam negeri. Perhitungan TKDN atas produk yang bahan baku berasal dari impor dan dan threshold-nya tetap dipertimbangkan secara berkeadilan.

 “Ini hanya masalah kemauan saja dari perusahaan global berteknologi tinggi tersebut untuk berinvestasi di Indonesia. Di negara lain yang tingkat ekonomi dan SDM-nya di bawah Indonesia saja mereka bisa berinvestasi, apalagi di Indonesia yang punya pertumbuhan ekonomi tinggi dengan pasar domestik yang besar. TKDN bukanlah isu atau penghambat mereka membangun pabriknya di Indonesia.,” ujar Febri.

Peningkatan penggunaan produk dalam negeri merupakan upaya pemberdayaan industri dalam negeri. Produk dalam negeri wajib digunakan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang pendanaannya berasal dari APBN/D termasuk pinjaman dan hibah, tidak terkecuali juga Badan Usaha yang pembiayaannya berasal dari APBN/D, kerja sama dengan pemerintah, atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai oleh negara. Kewajiban menggunakan produk dalam negeri menjadi wajib ketika telah terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai TKDN dan BMP paling sedikit 40 persen maka produk dalam negeri yang boleh dibeli adalah produk dengan nilai TKDN paling sedikit 25 persen.

Tentunya, selain untuk pemberdayaan industri, program P3DN pun bertujuan untuk memperdalam dan memperkuat struktur industri dalam negeri. Dengan penggunaan komponen dalam negeri pada produk dalam negeri, diharapkan akan menumbuhkan industri-industri di dalam negeri, baik di hulu, antara, maupun hilir. Tidak hanya industri yang menghasilkan komponen, industri yang membuat mesin pun akan terdampak positif. Investasi pun diharapkan akan ditanamkan di industri dalam negeri untuk peningkatan kapasitas dalam rangka memenuhi kebutuhan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri. Tidak hanya di sektor industri, manfaat ini juga akan dirasakan di sektor ekonomi lainnya, termasuk peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Kebijakan TKDN telah terbukti menjadi game changer bagi manufaktur dan perekonomian Indonesia pada masa Covid-19. Belanja pemerintah dan BUMN/BUMD telah menjadi penopang permintaan yang lesu pada masa Covid-19, terutama belanja pemerintah di sektor farmasi dan kesehatan.

Berdasarkan perhitungan dampak ekonomi BPS diketahui bahwa multiplier ekonomi kebijakan TKDN sekitar 2,2. Artinya setiap belanja Rp1 produk manufaktur dalam negeri bisa menciptakan nilai ekonomi sebesar Rp2,2. Pada tahun 2024 nilai belanja pemerintah dan BUMN/BUMD atas produk manufaktur kurang lebih sekitar Rp1.441 Triliun di tahun 2024. Dengan demikian nilai ekonomi dengan pemberlakukan kebijakan ini mencapai kurang lebih Rp3.170 Trilliun. “Besarnya dampak yang muncul dari penggunaan produk dalam negeri tentu tidak bisa dianggap main-main. Hal ini terjadi karena belanja produk dalam negeri menciptakan backward linkage dan forward linkage dalam sektor-sektor ekonomi Indonesia,” ujarnya.