Bertemu Menaker, APINDO Luapkan Kekecewaan Soal Ketidakpastian Kebijakan Formula Upah
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan kekecewaannya atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) kluster Ketenagakerjaan.
Hal tersebut turut disampaikan Apindo saat menemui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yasserli beberapa waktu lalu di Jakarta.
"Kami sudah bertemu Bapak Menaker dan sampaikan kekecewaan tentang UMP yang sudah berlangsung lebih dari 13 tahun. Sejak 2011, isu upah minimum telah berulang kaki mengganggu stabilitas investasi," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam saat konferensi pers di Jakarta (26/11) malam.
Dijelaskan Bob, sistem pengupahan berbasis bipartit dianggap lebih efektif karena perusahaan dan serikat pekerja lebih memahami kondisi nyata di lapangan.
Selain itu, lanjut Bob, penetapan upah minimum seharusnya membedakan antara sektor formal dan informal.
"Kami mendorong upah berbasis struktur skala upah dan meritokrasi agar lebih adil bagi pekerja. Sistem yang ada saat ini sudah mengalami empat kali amandemen, namun belum cukup efektif meningkatkan upah rata-rata, yang seharusnya menjadi fokus utama,” terangnya.
Menurut Bob Azam, rasio ideal antara upah minimum dan upah rata-rata adalah 40% hingga 60%. Namun, di Indonesia, indeks tersebut berada di angka 1,2, yang berarti upah minimum lebih tinggi dari upah rata-rata.
“Hal ini menunjukkan bahwa fokus kita perlu dialihkan untuk meningkatkan upah rata-rata, bukan hanya upah minimum,” tegasnya.
Menurut Bob, pengusaha sangat peduli dengan nasib tenaga kerja. "Karyawan adalah aset terbesar kami. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk terus berdialog dengan pemerintah dan semua pihak terkait demi menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang sehat dan kompetitif,” ujarnya.
Dikesempatan yang sama, Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani mengkritisi ketidakpastian yang muncul akibat perubahan formula pengupahan yang telah dilakukan sebanyak empat kali dalam beberapa tahun terakhir.
“Formula sebelumnya sudah mempertimbangkan berbagai komponen seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan koefisien tertentu. Perubahan terus-menerus ini menimbulkan ketidakpastian, yang pada akhirnya mengurangi minat investor untuk berinvestasi di sektor padat karya,” jelas Shinta.
Terkait kebijakan UMP, Shinta menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk pemberi kerja, pekerja, dan pencari kerja.
Menurutnya, kebijakan upah minimum seharusnya didasarkan pada komunikasi yang transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara seimbang.
“Kami mendukung perlindungan hak pekerja dan peningkatan kesejahteraan mereka. Namun, kebijakan ini juga harus memperhatikan keberlanjutan usaha dan penciptaan lapangan kerja baru. Tanpa itu, kita hanya akan terjebak dalam siklus yang merugikan semua pihak,” katanya.
Lebih jauh, Shinta menekankan pentingnya memperhatikan daya saing dan produktivitas tenaga kerja Indonesia, yang saat ini masih tertinggal dibanding negara lain.
“Kenaikan UMP semestinya diselaraskan dengan peningkatan produktivitas pekerja. Tanpa itu, daya saing usaha kita akan semakin tertekan,” tegasnya.
Apindo menyerukan agar pemerintah tidak hanya fokus pada angka kenaikan UMP, tetapi juga menciptakan strategi yang mendukung peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja.
“Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mampu menyatukan berbagai kepentingan, menciptakan stabilitas, dan mendorong kemajuan,” kata Shinta.
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, kebijakan menaikkan UMP secara terus-menerus tidak selalu berdampak langsung pada peningkatan daya beli masyarakat. Sebaliknya, hal tersebut justru berpotensi memicu kenaikan biaya produksi yang berujung pada inflasi.
“Jika upah minimum dinaikkan terus, otomatis biaya produksi naik, dan inflasi pun meningkat. Yang perlu difokuskan adalah kelompok pekerja informal ini, karena dampak peningkatan daya beli mereka jauh lebih signifikan dibandingkan dengan pekerja formal,” jelasnya.
Dirinya menyebut bahwa sejak tahun 2019, ada sekitar 10 juta pekerja di sektor informal yang mengalami penurunan tingkat kesejahteraan.
"Ini merupakan tantangan besar yang harus dihadapi. Sejak 2019, ada 10 juta pekerja yang turun kelas. Pertanyaannya, bagaimana pemerintah menangani kelompok ini agar daya belinya meningkat?” ujar Aviliani.
Dirinya mengusulkan agar program Kartu Prakerja yang selama ini dikelola pemerintah dapat dimaksimalkan dengan melibatkan perusahaan secara langsung.
“Kartu Prakerja ini bisa dikelola oleh perusahaan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan pekerja yang turun kelas. Dengan begitu, mereka mendapatkan sertifikasi dan skill yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa sebagian anggaran program tersebut dapat dialokasikan untuk memberikan gaji kepada peserta pelatihan, yang pelaksanaannya ditangani langsung oleh perusahaan.
“Perusahaan yang melatih akan lebih serius karena mereka tahu kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Dengan cara ini, kita bisa menciptakan link and match antara kebutuhan industri dan keterampilan pekerja,” imbuhnya.
Aviliani juga menekankan pentingnya meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Ia membandingkan produktivitas tenaga kerja di negara lain, seperti China, di mana satu pekerja dapat menyelesaikan lima jenis pekerjaan, sedangkan di Indonesia rata-rata produktivitas pekerja masih rendah.
“Kedepannya, kita harus fokus pada peningkatan produktivitas tanpa menambah beban biaya operasional perusahaan. Jika produktivitas meningkat, perusahaan pun akan lebih fleksibel memberikan kompensasi tambahan kepada pekerja, misalnya melalui bonus, bukan melalui biaya tetap seperti kenaikan gaji,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan memiliki kondisi yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang masih bertahan dan berusaha efisien di tengah tantangan ekonomi global.
“Market domestik memang masih cukup baik, tetapi pasar ekspor kita saat ini mengalami tekanan. Oleh karena itu, kebijakan yang memaksakan kenaikan gaji belum tentu tepat untuk diterapkan dalam situasi sekarang,” tutup Aviliani.