Kalangan Tekstil Nasional: Pemberantasan Impor Ilegal Percuma Tanpa Supremasi Hukum
INDUSTRY.co.id -Jakarta – Kalangan pertekstilan nasional mengapresiasi kerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mulai memberantas praktik importasi illegal sebagai implementasi perintah Presiden Prabowo Subianto untuk menggarap pendapatan dari aktivitas shadow economy.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa banjirnya barang impor ilegal ini membuat kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus menurun hingga zona tren deindustrialisasi dalam 10 tahun terakhir.
Menurutnya, kasus pailitnya Sritex, tutupnya pabrik sepatu Bata hingga penutupan 30 perusahaan tekstil yang melalukan PHK ratusan ribu karyawan menjadi saksi atas kebrutalan praktik importasi illegal terutama dala kurun waktu 2 tahun terakhir.
“Meskipun kami tahu belum semua Menteri sepaham, namun kami optimis Presiden Prabowo berkomitmen untuk konsisten memberantas praktik impor ilegal ini dalam rangka menciptakan birokrasi bersih sejaligus menyelamatkan industri TPT nasional,” kata Redma melalui keterangan tertulisnya di Jakarta (25/11).
APSyFI juga mengapresiasi inisiasi yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Hukum dan HAM untuk secara serius memberantas praktik importasi ilegal. Menurut Redma, pemberantasan importasi ilegal harus dilakukan dengan kekuatan ekstra menimbang banyaknya pihak yang terlibat juga dilindungi oleh oknum aparat penegak hukum.
Sementara itu, Direktur Eksekuitf Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto mewanti-wanti agar upaya pemberantasan praktik impor ilegal jangan hanya gimmick, tetapi harus konsisten disertai dengan tindakan penegakan hukum.
“Patokan kita kan data trade map, selama data selisih perdagangan itu masih besar dan barang murah yang dijual tanpa PPN masih membanjiri pasar domestik, berarti impor ilegal itu masih ada,” kata Agus.
Pihaknya pun menyayangkan statement Menteri Keuangan yang menyalahkan kindisi oversupply dan tingginya hambatan dagang disejumlah negara tujuan ekspor menjadi penyebab tingginya aktivitas importasi ilegal.
“Memang puncaknya terjadi dalam 2 tahun terakhir karena kondisi eksternal, tapi aktivitas impor ilegal in ikan sudah terjadi bertahun-tahun. Jadi PR utama Menkeu justru memperbaiki kinerja Bea Cukai melalui peningkatan integritas apparat serta perbaikan sistem kepabeanan,” jelasnya.
Sedangkan, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi mengungkapkan bahwa ini akan sepenuhnya dibebankan pad konsumen akhir.
“Dalam hitungan kami, ketika PPN dikenakan 11%, maka sebenarnya PPN yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8%, karena rantai nilai tekstil itu panjang dimana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang. Jika PPN dinaikan menjadi 12% maka beban konsumen akhir menjadi 21,6% dari harga barang sebenarnya,” papar Ardiman.
Ditengah kondisi daya beli masyarakat yang sedang menurun, Ardiman khawatir kenaikan PPN ini akan berimbas pada turunnya konsumsi tekstil masyarakat. Sehingga tujuan pemerintah untuk menerima pemasukan yang lebih besar justru menjadi kontra produktif karena turunnya konsumsi tekstil masyarakat akan mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil.
Untuk itu, YKTI menyarankan agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) fokus memberantas impor ilegal.
“Kalau kita hitung dari data selisih perdagangan TPT di trade map, dalam 5 tahun terakhir diperkirakan penerimaan negara hilang Rp46 triliun, karena gap perdagangannya mencapai USD 7,2 miliar atau sekitar Rp106 triliun nilai barang yang tidak bayar Bea Masuk, PPN dan PPH,” jelas Ardiman.
“Asal impor ilegal diberantas, penerimaan negara dari TPT akan naik RP9 triliun per tahun tanpa harus menaikan PPN,” tambahnya.
Disisi lain, pemberantasan importasi ilegal juga akan menggairahkan kembali bisnis produksi TPT di Tanah Air, sehingga pabrik-pabrik tekstil akan meningkatkan utilisasi produksinya, kembali beroperasi menyerap tenaga kerja hingga mempekerjakan tambahan karyawan.
“Masyarakat yang bekerja dan berpenghasilan secara otomatis akan meningkatkan daya beli dan konsumsi, nah disini baru pemerintah akan mendapatkan imbasnya di PPn,” tutupnya.