APRISINDO: Tidak Ada Alasan Merubah Formula Penetapan Upah Minimum 2025

Oleh : Ridwan | Kamis, 21 November 2024 - 10:52 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko mengungkapkan bahwa tidak ada alasan untuk merubah formula penetapan upah minimum tahun 2025. 

Menurutnya, perubahan formula pengupahan termasuk dalam penambahan upah sektoral akan berdampak negatif terhadap sektor padat karya. 

"Perubahan formula pengupahan yang berdampak pada penambahan beban di luar ekspektasi bagi dunia usaha, khususnya bagi industri padat karya justru akan menjadi kontra produktif, baik bagi ekonomi nasional maupun bagi pekerja itu sendiri," kata Eddy melalui keterangan tertulisnya (20/11).

Menurutnya, perubahan formula penetapan upah pada saat ini akan berpotensj menambah beban bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki tenaga kerja dengan jumlah banyak termasuk diantaranya pabrik-pabrik alas kaki

"Penambahan beban bagi dunia usaha apalagi ketika pasar sedang mengalami konstraksi yang pada ujungnya akan berdampak pada daya tahan dan daya saing perusahaan, baik bagi mereka yang berorientasi pada pasar domestik terlebih lagi pasar ekspor," terangnya.

Selain itu, tambah Eddy, denan perubahan formula upah justru akan semakin memperceat arus relokasi perusahaan-perusahaan padat karya dari daerah denan UMK tinggi ke daerah dengan UMK yang lebih rendah.

"Jika kemudian yang dilihat negatif oleh investor adalah daya sainh secara nasional, maka potensi relokasi bisa terjadi hingga keluar dari Indonesia, pindah ke negara pesaing Indoesia yang lebih kompetitif," kata Eddy.

Menurutnya, dalam penetapan upah minimum masih dapat menggunakan formula perhitungan dengan menggunakan indeks tertentu. 

Dikatakan Eddy, putusan MK tidak mempengaruhi pada penggunaan indeks tertentu yang tertuang dalam PP 36 Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan PP 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.

"Upah minimum saat ini telah mengakomodasi kehidupan layak bagi pekerja di awah satu tahun kerja. Semenara bagi pekerja ang diatas satu tahun berlaku ketentuan struktur upah secara profesional," ungkap Eddy.

Menurutnya, untuk keberlanjutan kesejahteraan pekerja dan masyarakat seharusnya kemampuan perusahaan dan daya saing juga harus menjadi variable dalam penetapan upah minimum serta sektoral. 

Karena, lanjut Eddy, sektor padat karya tidak layak dikenakan uoah sektoral, jangan sampai nanti baik perusahaan maupun pekerja justru menjadi korban dari kebijakan pengupahan yang tidak berpihak pada sektor padat karya.

"Boro-boro bisa mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, malah kita akan rugi double akibat kehilangan investasi dan kehilangan kelas menengah secara bersamaan," tutup Eddy.