Kementan Akui Rancangan Permenkes Berdampak ke Sektor Pertanian RI

Oleh : Wiyanto | Rabu, 23 Oktober 2024 - 10:53 WIB

INDUSTRY.co.id-Jakarta– Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) maupun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) akan berdampak ke berbagai sektor, termasuk pertanian. Hal ini menyusul adanya sejumlah pasal restriktif seperti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang berpotensi mengancam pertembakauan nasional.

Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan Kementan, Muhammad Rizal Ismail, mengatakan semakin restriktifnya regulasi bagi industri tembakau pada beberapa aspek yang tertera pada PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes akan berdampak terhadap penurunan produktivitas industri hasil tembakau, termasuk akan berdampak pada penurunan hasil pertanian.

Rizal menilai dengan adanya aturan kemasan rokok polos tanpa merek, industri tembakau sangat mungkin akan menurunkan produksinya sebagai adaptasi penurunan permintaan akibat penerapan beleid inisiatif Kementerian Kesehatan tersebut. Kondisi ini akan mendorong efisiensi bahan baku serta tenaga kerja berpotensi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kian maraknya peredaran rokok ilegal.

“Aturan kemasan rokok polos tanpa merek akan memberatkan industri tembakau. Terlebih, mereka harus melakukan desain ulang dan cetak ulang kemasan rokok membutuhkan ongkos yang besar,” ujarnya.

Padahal, lanjut Rizal, tembakau merupakan komoditas unggulan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementan, luas lahan tembakau nasional pada 2023 mencapai 229.123 hektare. Sedangkan, hasil produksi tembakau kering sebanyak 285.348 ton.

Rizal melihat kebijakan tersebut juga akan membuat serapan terhadap tembakau hasil petani menurun. Kemudian, kondisi ini akan membuat lenyapnya mata pencaharian yang sangat diandalkan oleh para petani tembakau saat ini. Maka, ia menilai Rancangan Permenkes ini merupakan tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan pertembakauan di Indonesia.

“Saat ini, kami sedang menjalin komunikasi yang intensif dengan berbagai pihak untuk mendapatkan solusi dan memberikan masukan terhadap Rancangan Permenkes ini,” terangnya merujuk pada keterlibatan dialog antarkementerian terkait perumusan Rancangan Permenkes.

Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Ancam Penurunan Ekonomi

Tak hanya itu, Rizal khawatir rencana kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi menyebabkan penurunan penjualan rokok legal. Padahal, kontribusi tembakau terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp213,48 triliun pada 2023.

Beban biaya atas perubahan desain kemasan rokok polos tanpa merek ini pun kemungkinan akan dibebankan pada harga pembelian bahan baku maupun harga jual produk rokok. Oleh karena itu, Rizal melihat bahwa penambahan biaya tersebut pada akhirnya tidak hanya menyasar sektor industri tembakau semata. Kesejahteraan pelaku di ekosistem tembakau pun sedang dipertaruhkan dengan kebijakan tersebut, mulai dari petani, buruh, pengusaha ritel, sampai pedagang kelontong.

Di kesempatan berbeda, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, juga menyoroti dampak ekonomi atas kemungkinan diterapkannya rencana aturan kemasan rokok polos terhadap perekonomian Indonesia. Menurutnya, memaksakan usulan standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek tersebut akan menjadi beban berat bagi pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Terlebih lagi, menurutnya, standardisasi kemasan rokok polos tanpa merek ini akan semakin menyuburkan rokok ilegal. Ironisnya, para produsen rokok ilegal mendapatkan kemudahan memalsukan produk, tanpa identitas dan informasi detail lainnya. “Negara rugi dua kali. Cukai tidak tercapai, rokok ilegal marak,” ucapnya.

Lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada September lalu pun telah melakukan proyeksi dan kalkulasi dampak ekonomi atas Rancangan Permenkes dan PP 28/2024. Jika Kemenkes memaksakan menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek, zonasi larangan penjualan, dan pelarangan iklan luar ruang, maka dampak ekonomi yang akan hilang setara dengan Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan akan menurun sebesar Rp160, 6 triliun.

Oleh sebab itu, Budhyman mempertanyakan kesiapan pemerintahan baru dalam menghadapi ancaman kerugian tersebut. “Kehilangan penerimaan ekonomi sebesar Rp308 triliun dan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp160,6 triliun itu bukan angka yang kecil. Apakah pemerintah siap kehilangan angka sebesar ini? Jadi, harusnya aturan tersebut dibatalkan dan direvisi saja,” pungkasnya.