Kejar Target Rampungkan RPMK, Pemerintah Abai Efek Domino Negatif Pengaturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

Oleh : Kormen Barus | Selasa, 01 Oktober 2024 - 18:06 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta-  Ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari sektor manufaktur terus berjuang untuk memberikan kontribusi terbaik di tengah kondisi perekonomian yang menantang ini.

Capaian penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2023 adalah Rp 213,5 T, menurun sekitar 2,3% dibandingkan tahun 2022. Adapun dalam  APBN 2024, dari total penerimaan cukai yang ditargetkan untuk mencapai Rp 246,08 triliun, CHT ditargetkan untuk dapat menyumbang hingga Rp 230,41 triliun atau 93,6 persen dari total penerimaan cukai.

Tantangan untuk mencapai target penerimaan CHT ini didorong oleh tingginya pengenaan cukai selama 5 tahun terakhir.

Begitu juga dengan  produksi industri hasil tembakau (IHT) yang berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, produksi rokok nasional dalam 5 tahun terakhir berkurang 10,57% dari 355,84 miliar batang pada 2019 menjadi 318,21 miliar batang pada 2023. Menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan menjadi urgensi saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa ekosistem pertembakauan telah menjadi motor penggerak ekonomi nasional mengingat dampak berganda ekonominya yang besar. 

“Di tengah kondisi ekonomi yang berat saat ini, ekosistem tembakau sedang menghadapi menghadapi berbagai tantangan yang bertubi-tubi. Seluruh mata rantai hulu hilir tembakau terancam dimatikan lewat sederet pasal-pasal pengaturan dalam Peraturan Pemerintah  No.28 tahun 2024 (PP Kesehatan) serta aturan pelaksananya yakni Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengendalian Tembakau dan Rokok Elektronik yang sedang kejar target untuk disahkan pada masa transisi Pemerintahan. Pengaturan terkait produk tembakau di dalam RPMK sangat meresahkan dan dampaknya sangat suram bagi hulu-hilir ekosistem pertembakauan,” ujar I Ketut Budhyman, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Selasa, (1/10).

Diketahui, Rancangan Permenkes tersebut memuat ketentuan untuk mendorong kemasan rokok polos tanpa merek sebagai bagian dari standardisasi kemasan. Penolakan terhadap ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek ini telah disampaikan dalam beberapa kesempatan oleh sejumlah elemen terkait pertembakauan, seperti petani tembakau dan cengkih, tenaga kerja, hingga peritel dan industri terkait lainnya yang mencakup industri kreatif. Rancangan aturan ini berpotensi menciptakan dampak besar terhadap keberlangsungan tenaga kerja dan dapat mendorong peningkatan rokok ilegal secara signifikan.

Budhyman memaparkan mulai dari 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000-an tenaga kerja sigaret kretek tangan (SKT), peritel, UMKM, hingga 725.000 tenaga kerja industri media kreatif sebagai bagian dari ekosistem pertembakauan akan terkena dampak RPMK. “Kami, elemen ekosistem pertembakauan bukanlah pihak yang anti-regulasi. Kami bersedia, siap, dan pada prakteknya, selalu mematuhi peraturan yang ada. Sayangnya, dalam setiap penyusunan regulasi pertembakauan, termasuk soal dorongan kemasan rokok polos, kami tidak dilibatkan. Tahu-tahu sudah ada standardisasi yang ditetapkan Kemenkes. Padahal ini dampak domino negatifnya sangat besar, baik kepada pekerja, pedagang dan industri itu sendiri,” sebutnya.

Ali Rido, Pengamat Hukum Universitas Trisakti menuturkan bahwa seharusnya PP pengamanan zat adiktif harus dipisah dari substansi aturan pelaksanaan yang lain. Hal ini dikarenakan, frasa delegasi dalam Pasal 152 UU Kesehatan No. 17/2023 menggunakan frasa ketentuan lebih lanjur “diatur dengan” PP, bukan “diatur dalam” PP.  “Berlandaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012-016-019/PUU-IV/2006, frasa "diatur dengan peraturan perundang-undangan" berarti harus diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Lahirnya PP No. 28/2024 sebagai aturan tunggal pelaksanaan UU Kesehatan, merupakan bentuk ketidakpatuhan konstitusional,”tegas Ali Rido.

Dari segi materiil/substansi, sejumlah baik PP Kesehatan dan RPMK juga menyisakan permasalahan. Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusional ini memaparkan, aturan yang melarang penjualan produk tembakau secara eceran perbatang, cenderung multitafsir dan sulit implementasinya. Hal yang sama, telihat pada larangan jualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

“Konteks ini, menjadi problematik jika dihadapkan pada kasus toko/warung yang eksisting lebih dulu ketimbang satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Idealnya, pemberlakuan pasal ini tidak boleh retroaktif melainkan futuristik. Namun absennya penjelasan keberlakuannya, akan menjadi pasal karet yang kontradiktif dengan asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12/2011,”ujar Ali.

Begitu juga dengan larangan dan pengendalian iklan rokok yang diatur dalam PP No.28 Tahun 2024 dan turunannya dalam RPMK, mengabaikan IHT sebagai industri legal sehingga berhak menggunakan sarana iklan apapun yang tersedia dan tidak dapat dilarang untuk diiklankan, walaupun dengan syarat-syarat tertentu.

“Konstitusionalitas tersebut, terekspos jelas antara lain dalam Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013. Pengaturan iklan dan promosi yang dituangkan dalam jenis PP, juga tidak koheren dengan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017 yang menegaskan pengaturan promosi dan iklan rokok menjadi wilayah pembentuk undang-undang. Artinya, jenis aturan berupa PP No. 28/2024 tidak seharusnya mengatur iklan dan promosi secara berlebihan karena itu domain legislatif (DPR) melalui undang-undang,”jelasnya.

Ia pun menyayangkan bahwa seluruh elemen ekosistem pertembakauan yang terdampak dalam PP Kesehatan dan RPMK ini sejak awal tidak dilibatkan. Padahal Putusan MK No 91 tahun 2020 bahwa proses peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi masyarakat (meaningfull participation).

RPMK juga mewajibkan implementasi standardisasi kemasan atau dikenal dengan kebijakan polos dimana seluruh kemasan produk tembakau maupun elektronik akan diseragamkan menjadi warna 448 Pantone C. Penulisan merek dan varian Produk Tembakau menggunakan Bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 8 mm, berwarna hitam dan diletakkan di bagian tengah permukaan depan dan belakang kemasan. Selain itu kewajiban standarisasi kemasan juga mengharuskan penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 4 mm, berwarna hitam dan diletakkan di bagian sisi kiri kemasan; dan/atau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam rancangan peraturan Menteri tersebut.

“Padahal Pasal 437 PP 28 Tahun 2024 hanya mengamanahkan pemberlakuan standardisasi kemasan terkait peringatan kesehatan kepada Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara,” ucap Ali yang membacakan kutipan pasal pada RPMK dan PP 28 Tahun 2024, yang mendorong kemasan rokok polos tanpa merek.