Bahlil Sebut Sudah Mulai Insaf, Kurangi Emisi Industri, Industri Global Kini Sudah Bergeser ke Arah yang Lebih Hijau

Oleh : Kormen Barus | Kamis, 26 September 2024 - 10:16 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta-Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah berusaha meningkatkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam industri pemurnian mineral (smelter). Selain itu, upaya tersebut juga merupakan bagian dalam membidik target ambisius mengurangi emisi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran pandangan industri global yang kini sudah bergeser ke arah yang lebih hijau. "Dalam industri dan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia sudah mulai insaf bertahap. Karena dulu kita berpikir tentang mencari uang dengan cepat tanpa memperhatikan proses lingkungan dengan baik," ujarnya pada acara Kumparan Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (25/9).

Sejalan dengan paradigma global tersebut, tutur Bahlil, pemerintah akan membuat peraturan untuk memanfaatkan EBT di dalam industri-industri smelter secara bertahap dan perlahan, yang sebelumnya menggunakan batubara sebagai sumber energi listriknya.

"Di Weda Bay itu membangun industri hilirisasi dari bahan baku nikel. Sekarang dia sudah punya lebih kurang lebih sekitar 8-10 gigawatt, artinya 8-10 ribu megawatt," tuturnya.

Bahlil menyebutkan bahwa sudah berdiskusi dengan pemilik smelter Weda Bay mulai tahun 2025 mendatang pengolahan nikel disana akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di lahan bekas tambang, dengan target lima tahun selanjutnya pemanfaatan EBT sudah di atas 50%.

"Puncaknya nanti di tahun 2030 minimal 60-70 persen mereka sudah bisa melakukan konversi memakai energi baru terbarukan," tambahnya.

Selanjutnya, Bahlil mengatakan bahwa smelter-smelter yang produk turunannya hanya sampai dengan Nickel Iron Pig (NPI) akan diberikan persyaratan sudah harus memakai EBT, atau setidaknya menggunakan energi berbasis gas bumi, meski memiliki investasi yang lebih mahal.

"Tetapi, mahalnya Capex untuk melakukan investasi terhadap power plant yang berorientasi pada EBT itu ditutupi dengan harga produk yang memang harganya lebih mahal ketimbang produk yang dihasilkan dari energi batu bara atau fosil. Jadi kalau dihitung secara ekonomi, itu no issue," pungkasnya. (Kementerian ESDM)