Terungkap, 1 dari 4 Orang Indonesia Tak Masalah Berikan Informasi Palsu saat Ajukan Pinjaman
INDUSTRY.co.id - Jakarta - 1 dari 4 penduduk Indonesia menganggap tidak masalah bila sengaja memberikan informasi palsu saat mengajukan pinjaman pribadi, KPR, kredit mobil dan permohonan lainnya.
Pokok-pokok Penting Survei FICO: (1). Sepertiga orang Indonesia (34%) menganggap wajar atau normal bila melebih-lebihkan informasi pendapatan ketika mengajukan pinjaman. (2) Satu dari sepuluh orang Indonesia (10%) percaya bahwa tidak masalah bila sengaja memberikan informasi palsu tentang pendapatan ketika mengajukan permohonan KPR. (3) Pemalsuan klaim asuransi dianggap sebagai penipuan paling tabu, di mana lebih dari tiga di antara empat orang Indonesia (77%) percaya hal ini tidak dapat diterima.
FICO adalah perusahaan terdepan di dunia di bidang perangkat lunak analitik. Hari ini FICO menyampaikan hasil penelitian tentang penipuan konsumen global terbaru, yang mengungkapkan sikap mengkhawatirkan terhadap penipuan keuangan pihak pertama di seluruh dunia maupun di pasar Indonesia.
Menurut survei ini, meskipun sebagian besar responden Indonesia menganggap pemberian infomasi palsu saat mengajukan permohonan produk keuangan dan klaim asuransi tidak dapat diterima, sebagian besar penduduk tidak merasa demikian.
Dua dari lima orang Indonesia menganggap bahwa untuk beberapa kasus, pemalsuan informasi pendapatan saat mengajukan pembukaan rekening bank (42%), KPR (35%) atau kredit kendaraan bermotor (49%) adalah wajar atau dapat diterima. Selain itu, lebih dari sepertiga orang Indonesia (34%) percaya bahwa pemalsuan informasi pendapatan saat mengajukan pinjaman pribadi juga wajar atau dapat diterima.
Sentimen ini sangat sesuai dengan sikap global. Menurut survei tersebut, mayoritas konsumen (56%) dengan tegas menolak melebih-lebihkan informasi pendapatan saat mengajukan pinjaman dan menganggap tindakan ini tidak dapat diterima.
Satu dari empat konsumen (24%) menganggap tindakan ini dapat diterima dalam keadaan tertentu, sedangkan satu dari tujuh konsumen (15%) menganggapnya sebagai praktik normal.
“Konsumen harus paham bahwa memberikan informasi palsu saat mengajukan permohonan produk keuangan dapat mengakibatkan konsekuensi serius, bahkan meskipun jika tanpa sengaja,” kata Aashish Sharma, pimpinan bidang siklus hidup risiko dan manajemen keputusan di FICO Asia Pasifik.
“Bank dapat mengatasi masalah sebenarnya terkait pinjaman tanpa verifikasi cermat ini melalui peningkatan kemampuan mendeteksi ketidakakuratan, dengan menerapkan perlindungan dari kredit macet sekaligus secara efektif mencegah nasabah melakukan penipuan.”
Sektor KPR yang Berkembang Berisiko Menghadapi Penipuan Saat Permohonan
Pasar KPR Indonesia diperkirakan mencapai Rp.72 triliun (AS$4,56 miliar) pada tahun 2024 dan akan mencapai Rp.117 triliun (AS$7,39 miliar) pada tahun 2029 (Mordor Intelligence). Namun karena seperempat konsumen Indonesia (25%) yakin bahwa berbohong saat mengajukan permohonan KPR adalah tindakan yang dapat diterima dalam keadaan tertentu; dan satu dari sepuluh konsumen (10%) menganggapnya hal yang wajar, lembaga keuangan menghadapi masalah besar tentang penilaian risiko dan potensi peningkatan kredit macet.
Bahkan ketika permohonan pengajuan KPR dari nasabah lama tampak sah di atas kertas, hubungan perbankan yang sudah terjalin dapat dimanfaatkan untuk melakukan penipuan. Dengan membesar-besarkan informasi pendapatan, seperti membesar-besarkan informasi penghasilan wirausaha atau bonus, dan tidak menyebutkan utang atau memberikan informasi palsu tentang keadaan pribadi, pemohon dapat memanipulasi proses pinjaman. Hal ini mempersulit pemberi pinjaman mendeteksi ketidaksesuaian tersebut tanpa langkah verifikasi yang menyeluruh dan proaktif.
"Meskipun penipuan pengajuan permohonan menyebabkan tantangan yang unik, lembaga keuangan dapat memperkuat pertahanan terhadap penipuan melalui solusi analitik data yang terdepan di industri ini," kata Sharma. "Penilaian risiko dapat ditingkatkan dengan menerapkan analitik deteksi anomali, melakukan analisis data yang menyeluruh, dan terus memantau akun untuk mengetahui tanda-tanda sleeper fraud (penipuan di mana pelaku menghilang setelah beberapa lama mendapatkan kredit) atau kemungkinan pembobolan kartu kredit."
Memalsukan Klaim Asuransi Adalah Hal Paling Tabu
Menurut penelitian FICO, memalsukan klaim asuransi dianggap sebagai bentuk penipuan paling tabu, di mana sekitar dua pertiga konsumen di seluruh dunia percaya bahwa membesar-besarkan nilai barang curian atau menambahkan hal-hal palsu pada klaim adalah tindakan yang tidak dapat diterima. Sentimen ini disetujui oleh lebih dari tiga dari empat orang Indonesia (77%).
Sejalan dengan tren global, sikap terhadap produk keuangan lainnya juga berubah. Menurut separuh dari konsumen dunia, termasuk separuh dari konsumen Indonesia, membesar-besarkan informasi pendapatan untuk kontrak telepon seluler (51%) atau pengajuan kredit mobil (49%) adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
"Survei FICO mengungkapkan persepsi publik yang mengkhawatirkan tentang penipuan pengajuan permohonan," kata Sharma. "Meskipun banyak yang menyesuaikan pandangan mereka berdasarkan keadaan, penipuan tetap tidak dapat dibenarkan. Lembaga keuangan yang mendeteksi penipuan sebelum memberikan kredit dapat melindungi diri dan mencegah nasabah tanpa sengaja terlibat dalam perilaku yang meragukan atau perilaku kriminal.”
Survei ini dilakukan pada bulan November 2023 oleh perusahaan riset independen dengan mematuhi standar industri penelitian. 1.001 orang Indonesia usia dewasa disurvei bersama sekitar 12.000 konsumen di Kanada, A.S., Brasil, Kolombia, Meksiko, Filipina, India, Malaysia, Singapura, Thailand, Inggris, dan Spanyol.
Pengumuman ini dianggap sah dan berwenang hanya dalam versi bahasa aslinya. Terjemahan-terjemahan disediakan hanya sebagai alat bantu, dan harus dengan penunjukan ke bahasa asli teksnya, yang adalah satu-satunya versi yang dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan hukum.