4 Penyebab Utama Kebangkrutan Tupperware Menurut Pakar Pemasaran Ini

Oleh : Kormen Barus | Jumat, 20 September 2024 - 19:00 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta – Tupperware Brands Corporation (NYSE: TUP), sebelumnya bernama Tupperware Corporation, menambah daftar merek global legendaris yang akhirnya bangkrut menyusul Kodak di Jepang, Lehman Brothers di Amerika Serikat, dan lain sebagainya. Permohonan perlindungan kebangkrutannya (Chapter 11) telah dilayangkan ke Bankruptcy Court for the District of Delaware pada Selasa (17/9) lalu.

Sebagai produsen peralatan dapur yang amat terkenal di dunia, kebangkrutan Tupperware tentu saja mengejutkan. Bagaimana tidak, siapa yang tidak tahu Tupperware? Hampir semua orang di dunia ini tahu Tupperware. Saking terkenalnya, Tupperware telah menjadi generic brand: apa pun produknya, siapa pun produsennya, kalau terkait dengan peralatan dapur dan penyimpanan makanan dianggapnya Tupperware.

Pertanyaannya, mengapa Tupperware yang demikian besar, yang sudah berdiri sejak 1938, bisa bangkrut? Menurut Purjono Agus Suhendro, pakar pemasaran dari Indonesia Marketing Strategy Consultant (IMSC), setidaknya ada empat penyebab kebangkrutan itu. Pertama, Brand Disruption. Tupperware yang sudah sangat matang di pasar justru dihadapkan pada kinerja penjualan yang buruk karena terdisrupsi oleh pemain baru yang lebih kompetitif.

“Semua orang mengakui bahwa kualitas produk Tupperware bagus. Itu tak terbantahkan. Namun, banyak brand follower yang hadir ke pasar menawarkan value proposition minimal sama dengan banderol harga di bawahnya. Itu juga dialami oleh brand-brand otomotif dan elektronik asal Jepang yang terdisrupsi oleh brand-brand asal Tiongkok yang mengiming-imingi harga lebih terjangkau tapi dengan fitur yang lebih inovatif,” kata Purjono.

Kedua, Brand Relevance. Brand image Tupperware sangat lekat dengan direct selling, multi level marketing, atau network marketing yang dimulai dari tren Tupperware Parties pada 1950-an. Sementara itu, generasi milenial tak tertarik dengan pola pemasaran berjejaring, terutama untuk produk peralatan rumah tangga, seiring pesatnya industri e-commerce belakangan ini. Artinya, brand tersebut sudah tidak relevan dengan pasar terkini.

Ketiga, Brand Extension. Sejarah panjang dan brand image yang baik bisa menjadi modal bagi perusahaan untuk melakukan brand extension alias memperluas jangkauan pasar menggunakan brand yang sama tetapi dengan kategori produk yang berbeda. Purjono menjelaskan, brand extension sangat menguntungkan karena berdampak pada peningkatan volume penjualan, nilai pendapatan, dan margin laba perusahaan secara keseluruhan.

“Entah karena terlalu fokus atau apa, saya melihat Tupperware tidak maksimal dalam melakukan brand extension strategy atau disebut juga brand stretching strategy. Padahal, jika brand extension-nya lebih diperluas lagi, kinerja Tupperware akan jauh lebih kuat sehingga kemungkinan mengalami kebangkrutan lebih kecil. Saya rasa masih banyak potensi yang bisa digarap Tupperware melalui brand extension strategy,” ungkap Purjono kepada media di Jakarta, Jumat (20/9).

Keempat, Brand Chaos. Selain faktor eksternal, kebangkrutan sebuah perusahaan bisa juga berasal dari kekacauan internal atau brand chaos. Dalam kasus Tupperware, bisa juga terjadi karena faktor jaringan yang tidak solid, kesalahan manajemen, dan lain sebagainya. Sebab, dalam bisnis multi level marketing, biasanya jejaring saling membantu, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga saling bersaing satu sama lain.

Yang jelas, kabar kebangkrutan Tupperware sangat mengejutkan publik sejagat, termasuk pelanggannya di Indonesia. Seperti kita ketahui, Indonesia telah menjadi pasar terbesar brand peralatan dapur global asal Florida itu sejak satu dekade lalu. “Dari kacamata pemasaran, kebangkrutan Tupperware kemungkinan disebabkan oleh keempat faktor itu, selain dipicu oleh pandemi 2-3 tahun lalu,” kata Purjono.