Suami Ditangkap Polisi Kali Kedua, Mersi Silalahi Tinggalkan 5 Anak demi Mencari Keadilan di Jakarta

Oleh : Kormen Barus | Rabu, 11 September 2024 - 20:53 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta-Suara Mersi boru Silalahi (40 tahun), bergetar. Kata-kata tetiba berhenti meluncur dari mulutnya. Air tampak berlinang di matanya. Ia teringat akan lima anaknya, empat di antaranya masih duduk di bangku sekolah.

“Saya sangat sedih, saat ini. Saya bersama-sama pejuang masyarakat adat dari Sihaporas dan Dolok Parmonangan sudah hampir tiga minggu di Jakarta. Kami bukan jalan-jalan, bukan main-main. Saya tinggalkan anak-anak, seperti anakku yang masih kecil, Avelina Ambarita, kelas lima SD Sihaporas. Apakah dia makan, apakan dia mandi, apakah bajunya ke sekolah digosok/seterika?” kata Mersi saat jumpa pers di Gedung Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Jalan Salemba Raya, Jakarta, Rabu (11/9/2024).

Mersi adalah istri dari Thomson Ambarita, Bendahara Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) yang ditangkap polisi Senin (22/7/2024) dinihari, pukul 03.00 WIB.

Thomson dan Mersi tinggal di kampung Aek Batu Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pasanagn suami istri dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Doharman Ambarita (18 tahun,  tamat SMA, Bio Marvel Ambarita (17 tahun, Kelas 11 SMA swasta di Kecamatan Sidamanik.

Kemudian Fadil Fasion Ambarita (15 tahun, kelas 9 SMP swasta di Kecamatan Sidamanik; Hylton Reymandus Ambarita (13 tahun, kelas 8 SMP swasta di Kecamatan Sidamanik.  Adapun si bungsu perempuan satu-satunya, Avelina Ambarita (umur 10 tahun), masih duduk di bangku kelas 5 SD Negeri Sihaporas.

Mersi bertolak dari Sihaporas, di kawasan Danau Toba, dan tiba di Jakarta Selasa 27 Agustus. Ia dan pejuang tanah adat akan terus mencari keadilan di Jakarta sampai dengan Jumat 13 September 2024.

Ia meminta agar suami, yang disebutnay sebagai pejuang tanah adat dan lingkungan hidup bukanlah penjahat. Suaminya dan lima orang lainnya adalah pegiat masyarakat adat yang hidup dan bertumpu pada alam sekitar. Mereka bukan teroris, bukan koruptor, bukan pembunuh, jadi jangan ditangkap. “Bebaskan suami saya dan pejuang masyarakat adat, sekarang juga,” pinta Mersi Silalahi.

Thomson Ambarita (45 tahun), suami Mersi, tengah mendekam di dalam tahanan karena ditangkap personel polisi dari Polres Simalungun, Suamtera Utara, pada Senin 22 Juli, jam 03.00 WIB. Saat sedang terlelap tidur.

Kala itu, puluhan personel polisi dan security PT TPL, menyerbu gubuk posko Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di kawasan Danau Toba, tepatnya di Buttu Pangaturan, Desa/Nagori SIhaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Selain menangkap Thomson Ambarita, polisi menangkap Jonny Ambarita (49 tahun),  Giovani Ambarita (29 tahun), Parando Tamba (28 tahun), dan Dosmar Ambarita (35 tahun). Baru beberapa jam kemudian mereka mengetahui bahwa kelima orang tersebut ternyata ditangkap oleh Polres Simalungun. 

Selain keluarga Thomson dan Mersi, pasangan suami istri Jonny Ambarita dan Nurinda boru Napitu juga memiliki nasib serupa. Jonny Ambarita, menjabat Sekretaris Umum Lamtoras dan Thomson sebagai bendahara Umum Lamtoras, saat keduanya ditangkap dan terpenjara 9 bulan, September 2019 sd Juni 2020. Mereka berdua korban kriminalisasi PT TPL, yang mengalihkan konflik agararia dan tenurial dengan provokasi pekeranya sehingga terjadi bentrok dan tindakan fisik.

Jonny dan Nurinda dikaruniai empat anak. Mereka adalah Fidel Castro Ambarita (17 tahun, pelajar SMA Negeri 1 Pematang Siantar); Octa Olivia Ambarita (15 tahun, siswi SMK Negeri 3 Pematang Siantar); Arjuna Alvaro Ambarita (10 tahun, murid  SD Negeri Sihaporas); dan Fransiska Bertiana  Ambarita (9 tahun, murid SD Negeri Sihaporas).

Kakek 65 Tahun

Marta boru Manurung, keluarga Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan atau Sorbatua Siallagan. Kakek 65 tahun, kini mendekam dalam penjara setelah majelis Hakim pengadilan Negeri Simalungun menjatuhkan  hukuman penjara selama dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar yang jika tidak dibayarkan maka diganti hukuman kurungan enam bulan,   Rabu (14/8/2024).

Sorbatua terpidana  atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari.

Sorbatua ayah dari 8 anak, enam lelaki dan dua perempuan. Sorbatua dan Berliana br Manik, istrinya, kini memiliki tiga cucu. Menurut laporan Harian Kompas dan Kompas.id, Sorbatua tinggal di rumah kecil, berlantai tanah di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.

Syamsul Alam Agus SH, Ketua Badan Pelaksana Seknas PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara) mengatakan penangkapan masyarakat adat Sihaporas, yang dilakukan polisi tanpa surat penangkapan dan dinihari, tidak memenuhi unsur proses hukum.

"Tidak ada surat perintah penangkapan dari Polres Simalungun. Tidak ada surat peritah penggeledahan juga. Karena itu, kami melapor ke Mabes Polri agar kasus ini ditarik ke Mabes Polri. Tidak layak lagi ditangani Polres Simalungun," kata Alam.

Masih menurut Alam, PPMAN juga meminta Menteri LHK agar menghentikan proses perizinan PT TPL. Sebab PT TPL, perizinannya tengah dalam proses evaluasi.

Berjuang

Selama hampir tiga minggu di Jakarta, para pejuang tanah adat ini didamping aktifis gerakan sipil. Mereka telah audiensi dengan berbagai kementerian lembaga di Jakarta, untuk meminta para pegiat masyarakat adat yang jadi korban kriminalisasi oleh pihak PT TPL segera dibebaskan, dan hak-haknay dipulihkan.

Mereka juga berharap, pemerintah segera mengakui hak atas anah dan hutan adat yang kemudian diserahka kepada komunitas masyarakat adat Lamtoras Sihaporas dan Siallagan di Dolok Parmonangan.

Para pejuang tanah adat dari Simalungun, selama berada di Jakarta antara lain didampingi Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PHW AMAN) Wilayah Tano Batak.

Kemudian solidaritas Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta yaitu, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI).

Dan, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) , HuMa, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), PUSAKA.

Tradisi Adat

Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita mengatakan, tanah nenek moyaknya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam. Tanah adat leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, diusahai dihuni 11 generasi  secara turun-temurun.

Menurut Mangitua, mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka).

Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Ayahnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan LB Moerdani tahun 1989. 

Masih menurut Mangitua, pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental.

Misalnya, membuka lahan disebut ‘manoto’, menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.

Ketika hendak bercocok tanam padi darat (huma), dilakukan tradisi ‘manjuluk’. 

Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi ‘manganjab’, yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen.

Acara menganjap juga diwarnai tradisi ‘marsibak’, mengolah bahan makanan berbahan jagung, dicampur dedaunan untuk permentasi.

Rangkaian selanjutnya, ‘robu juma’ (pantang berladang) selama tiga hari, ‘robu harangan’ (pantang ke hutan) tiga hari, dan pada hari ke-7 dilakukan manangsang robu (buka pantang) yang diisi kegiatan doa, lanjut berburu ke hutan.

Saat panen, dikenal dilakukan ‘sipahalima’. Pemotongan bulir padi, didahului mengumpulkan tujuh gulungan buliran padi, lalu disimpan di bubungan gubuk. Setelah selesai panen, diadakan pesta dan doa bersama.

Selain itu, warga juga hidup dengan tradisi ritual doa adat. Terdapat tujuh macam doa, mulai skala besar yang diikuti musik tradisional gondang, sembelih persembahan atau sesaji, hingga penggunaan air suci yag bersumber dari balik batu.

Penggunaan ‘rudang’ atau bahan-bahan bebugaan dari perldanagn dan hutan. Tradisi terbesar adalah ‘Patarias Debata Mulajadi Nabolon’, yakni pesta adat denagn durasi non-stop tiga hari dua malam, menggunakan alat musik gondang Toba.