Demi Bangun Pembangkit EBT: Taprof Lemhannas RI DR. Ir. Muhammad Hanafi Imbau Pengusaha Batubara Buat Konsorsium

Oleh : Kormen Barus | Kamis, 01 Agustus 2024 - 21:17 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta, Kamis (01/08/2024)-Tenaga Ahli Profesional (Taprof) Lemhannas RI Bidang Energi, Dr. Ir. Muhammad Hanafi mengimbau agar pengusaha batubara membuat konsorsium untuk berinvestasi dalam pembangunan pembangkit EBT.

Selain untuk mengatasi kelangkaan energi di masa depan karena energi fosil akan habis, energi baru terbarukan menjadi suatu keharusan agar  Indonesia mencapai Net Zero Emision (NZE).  Usulan ini juga menjadi bagian dari strategi pencarian solusi yang inovatif agar transisi energi Indonesia tidak menghalangi hambatan.

Imbauan itu diusulkan Hanafi dalam “The International Conference on Battery for Renewable Energy and Electric Vehicles (ICB-REV) 2024”. Konferensi diselenggarakan National Battery Research Institute (NBRI) bekerja sama dengan Universitas Dian Nusantara (UNDIRA) dan Queen Mary University of London. Konferensi ini merupakan rangkaian dari Batavia Transdisciplinary Symposium (BTS) 2022.

Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Evy Kartini (Badan Riset dan Inovasi Nasional / BRIN), Prof. Dr. Ing. Silke Christiansen (Fraunhofer Institute for Ceramic Technologies and System IKTS, German), Prof. DR. Eng. Eniya Listiani Dewi (Dirjen EBT Kementerian ESDM), Prof Suharyadi (Rektor UNDIRA), Prof. Alan J. Drew (Queen Mary University, London), Prof. Vanessa Peterson (Australian Nuclear Science and Technology Organization / ANSTO, Australia), dan Prof. Anees Janee Ali (School of Management, Universitas Sains Malaysia).

Dalam penjelasannya, Hanafi menyoroti soal Domestic Market Obligation (DMO) batubara untuk mendorong investasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Dikatakan, dengan memanfaatkan selisih harga antara batubara DMO dan harga pasar internasional, Indonesia dapat memperoleh dana signifikan untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT. Skema ini memungkinkan negara mengurangi ketergantungan pada energi fosil, mencapai target NZE, dan memperkuat ketahanan energi nasional.

"Konsep pemanfaatan DMO batubara ini menawarkan win-win solution. Indonesia dapat mencapai target energi bersih, PLN mendapatkan aset EBT baru, dan produsen batubara terbebas dari kewajiban DMO dan memperoleh keuntungan dari harga ekspor,“ ujarnya.

Strategi yang harus dilakukan adalah, salah satunya, para produsen batubara dapat membentuk konsorsium dan bekerja sama  untuk menghitung kebutuhan investasi pembangkit listrik EBT dengan kapasitas tertentu. Dalam kalkulasi kebutuhan investasi itu, konsorsium dapat menyelaraskan dengan rencana PLN memensiunkan sejumlah PLTU batubara. Kapasitas listrik pembangkit EBT akan sesuai dengan kapasitas yang hilang akibat berhentinya PLTU.

„Dari hasil perhitungan, dapat ditentukan volume DMO yang bisa dikurangi untuk menghasilkan nilai setara dengan investasi pembangkit EBT. Pengurangan volume DMO menghasilkan tambahan dana karena sebagian batubara, yang sebelumnya dijual dengan harga 70 dolar per ton, dapat dijual ke pasar internasional dengan harga di atas 100 dolar per ton.” ujar Hanafi lebih lanjut.

Pemerintah, dalam kajian Hanafi, akan memberikan insentif bagi para pengusaha konsorsium yang memberikan dukungan invetasi awal EBT tersebut.  Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan mengurangi kewajiban DMO konsorsium tersebut. Setelah pembangkit listrik EBT beroperasi, pengelolaan akan diserahkan kepada PLN.

Meski demikian, usulan ini bukan tanpa tantangan. Hanafi meminta agar diperhatikan regulasi yang mendukung, keakuratan dalam memprediksi harga batubara, investor teknologi, dan koordinasi antar berbagai pihak terkait. Namun demikian, usulan pemanfaatan DMO batubara untuk investasi EBT merupakan langkah inovatif yang patut dipertimbangkan secara serius. Konsep ini tidak hanya menawarkan solusi untuk masalah energi, tetapi juga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Ajang Bergengsi

Konferensi di Hotel Mulia itu menjadi ajang bergengsi karena memertemukan narasumber yang merupakan pakar  di bidangnya. Para narasumber tersebut membahas teknologi baterai, investasi energi terbarukan, serta kebijakan dan standardisasi terkait.

Menurut Evvy Kartini sebagai pendiri BRIN, Indonesia mampu memproduksi baterai dengan sumber daya, pengetahuan, dan keterampilan sendiri. Kolaborasi menjadi penting untuk memperkuat pengembangan kendaraan Listrik (EV) di Indonesia. Sependapat dengan Evvy, Suharyadi menegaskan bahwa  Kolaborasi ICB-REV dan BTS akan terus menjadi ajang tahunan yang saling mendukung tidak hanya di kalangan peneliti tetapi juga memberikan manfaat bagi industri. Kolaborasi ini akan mendorong pengembangan teknologi baterai nasional dan mempercepat pencapaian target Net Zero Emissions (NZE).

Silke Christiansen Prof. Alan J. Drew sepakat, standarisasi baterai listrik sangat penting. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran tentang keselamatan dan dampaknya terhadap lingkungan. Penting juga untuk memastikan bahwa baterai diproduksi secara berkelanjutan. Bahkan Alan dan timnya juga melakukan penelitian di Indonesia mengenai perbandingan antara metode penggantian (swapping) dan pengisian (charging) baterai untuk kendaraan listrik roda dua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan teknologi kendaraan listrik yang lebih efisien.

Masih terkait kendaraan listrik roda dua, Eniya menegaskan, selaku Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM telah meluncurkan Program konversi kendaraan bahan bakar minyak ke listrik. Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, sekaligus akan mampu meningkatkan ketahanan energi nasional. Untuk itu, dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Vanessa juga terlibat dalam penelitian teknologi produksi baterai yang keberlanjutan. Proses produksi atau sintesis baterai ini menggunakan sinar neutron. Harapannya, penelitian tersebut dapat meningkatkan keberlanjutan dalam produksi baterai dengan metode yang lebih ramah lingkungan.