Lindungi Industri Dalam Negeri, Antidumping Ubin Keramik Asal China Mutlak Dijalankan
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pemerintah akan segera memberlakukan kebijakan pajak tambahan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk impor keramik dari China.
Hal ini menindaklanjuti hasil akhir penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap impor produk ubin keramik asal Tiongkok yang terbukti melakukan dumping.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar menyambut baik kebijakan BMAD terhadap impor produk ubin keramik asal Tiongkok.
"Kami menyambut baik dengan keputusan pemerintah yang melakukan suatu langkah cepat. Jadi, kita ini harus melihat bahwa dengan persaingan global, ekonomi sedang kontraksi, kita harus melindungi pasar dalam negeri," jelas Bobby di Jakarta (9/7).
Dijelaskan Bobby, secara umum pasar global sedang dalam fase kontraksi. Adanya perang dagang membuat China sebagai penghasil produk manufaktur terbesar di dunia kesulitan mengekspor produknya ke pasar utama seperti Amerika Serikat.
Sebaliknya, China mengalihkan produk-produknya, termasuk keramik, ke negara lain seperti Indonesia.
"Jadi, sebenarnya kebijakan BMAD tersebut bukan hanya untuk produk dari China saja. Memang yang saat ini banjir di pasar Indonesia itu baru dari China. Tapi secara umumnya ya harusnya tidak hanya China," jelasnya.
Menurutnya, apa yang telah dilakukan KADI sudah sesuai dengan aturan world trade organization (WTO).
"Itu memang harus dilakukan suatu proteksi terhadap industri dalam negerinya. Kalau negara lain berani, kenapa kita tidak. Yang pasti prosesnya semua sudah mengikuti aturan WTO," tutur Bobby.
Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita mengatakan, memang usulan BMAD untuk keramik dari China itu terbesar hingga mencapai 199%. Namun, tarif sebesar itu akan dikenakan kepada perusahaan atau importir yang tidak koperatif.
"Itu yang digaung-gaungkan naik 199%, padahal itu untuk perusahaan lainnya. Kan ada beberapa item 39 atau 37 perusahaan lainnya yang tidak koperatif, itu akan dikenakan tarif tertinggi (199%)," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (9/7).
Ia menjelaskan, hasil penyelidikan KADI terkait pengenaan BMAD akan dikenakan kepada importirnya. Sementara perusahaan yang kooperatif tidak akan dikenakan BMAD sampai 200%.
"Tetapi kalau PT nya itu yang kooperatif akan dikenakan 140%, ada yang 100% ada yang 139%. Kalau untuk dumping memang menyasar ke perusahaannya," jelasnya.
Namun, kebijakan ini belum resmi berlaku karena masih menunggu persetujuan dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang. Setelah itu kebijakan akan diteruskan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto menilai besaran BMAD mulai dari 100,12% sampai 155% untuk kelompok yang kooperatif dan 199% untuk kelompok yang tidak kooperatif di dalam penyelidikan telah mencerminkan bentuk keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap keberlanjutan industri keramik nasional.
"Kami tidak anti impor dari Tiongkok dan tidak melarang impor keramik dari Tiongkok, namun yang kami lawan adalah praktek unfair tradenya yakni tindakan dumping yang disertai dengan predatory pricing yang merugikan industri keramik dalam negeri," jelas Edy.
Asaki optimis semakin cepat diberlakukannya kebijakan BMAD tersebut akan mendongkrak kembali tingkat utilisasi produksi keramik nasional.
Berdasarkan catatan Asaki, utilisasi produksi keramik nasional pada semester I - 2024 berada di level 63%. Angka tersebut menurun dibandingkan tahun lalu yang berada di level 69%, dan tahun 2022 di angka 75%.
"Semoga kehadiran antidumping dapat mengembalikan industri keramik ke era kejayaannya di tahun 2012 - 2014, dimana tingkat utilisasi berada di atas 90%," tutup Edy.