Permendag 8/2024 Bikin Sejumlah Investor Industri Petrokimia Mundur

Oleh : Ridwan | Senin, 08 Juli 2024 - 20:35 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta -  Para pelaku industri petrokimia mengeluhkan membanjirnya produk impor khususnya dari China yang semakin sulit dibendung setelah pemerintah merelaksasi kebijakan importasi melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

“Para produsen plastik lokal pun kesulitan bersaing dengan produk impor dari China. Akibatnya, tingkat utilisasi produsen lokal terus menyusut hingga mencapai 50% saat ini,” kata Sekjen Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono pada diskusi dengan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (8/7),

Menurutnya, jika peredaran bahan baku dan barang jadi plastik impor terus berlanjut, bukan tidak mungkin pabrik-pabrik produksi plastik lokal akan banyak yang tutup. Hal ini tentu merugikan industri-industri lain yang banyak memanfaatkan produk plastik, seperti makanan-minuman, peralatan rumah tangga, otomotif, dan lainnya.

Fajar mengungkapkan, masalah banjir produk impor China tersebut bisa teratasi jika pemerintah segera memperbaiki peraturan importasi yang ada. 

"Permendag No 36 Tahun 2023 harus diterapkan kembali untuk membatasi produk impor plastik dari China," tegasnya.

Inaplas pun sudah pernah mengajukan beberapa instrumen perlindungan industri dalam negeri dari ancaman impor kepada pemerintah, antara lain Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) untuk bahan baku plastik seperti Polypropylene (PP) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE).

“Kebijakan instrumen pengamanan seperti BMAD dan BMTP memang tidak mudah diterapkan karena membutuhkan data dan kajian mendalam yang memakan waktu lama. Oleh karena itu, kami akan bertemu dengan Kemenperin menjelaskan kondisi industri petrokimia saat ini, termasuk sektor plastik secara mendetail,” papar Fajar.

Dikesempatan yng sama, Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita mengungkapkan, pihaknya konsisten untuk turut menciptakan iklim usaha yang kondusif di Tanah Air, sehingga produktivitas sektor industri manufaktur tetap berjalan baik.

Menurutnya, kepastian hukum menjadi salah satu faktor penting yang dapat memacu kinerja industri menufaktur di Indonesia.

“Optimisme para pelaku industri menurun karena dipengaruhi oleh regulasi yang kurang mendukung. Hal ini tercemin dari melemahnya PMI manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI), meskipun kedua indikator itu masih dalam fase ekspansi,” kata Reni.

Adapun regulasi yang dinilai oleh pelaku industri tidak probisnis, yaitu penerbitan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri.

“Dampak dari pemberlakukan Permendag 8/2024, antara lain menurunnya minat investasi karena terlalu cepatnya perubahan regulasi tersebut,” ungkap Reni. 

Padahal, di sektor IKFT, terdapat beberapa investor yang berencana merealisasikan modalnya untuk memproduksi bahan baku plastik (BBP).

“Namun dikarenakan regulasi yang bertujuan mengontrol impor dicabut, yakni Permendag 36/2023, membuat investor berpikir kembali untuk melakukan investasi di Indonesia,” imbuhnya. 

Reni mengemukakan, guna memitigasi dampak regulasi yang tidak berpihak pada pelaku industri kimia, diperlukan upaya peninjauan kembali regulasi tersebut khususnya mengenai pengaturan impor untuk produk bahan baku plastik terutama LLDPE ataupun PET. 

“Selain itu perlu dukungan dan fasilitasi pemerintah untuk menjamin iklim usaha industri terhadap investasi sektor industri kimia hulu khususnya komoditi petrokimia,” tegasnya.

Sementara itu, Peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus menilai penerapan Permendag 8/2024 berimplikasi pada banjirnya produk petrokimia impor. 

“Apabila impor produk hilir petrokimia itu tinggi, maka industri hulunya akan sulit bersaing. Apalagi, terjadinya ketidakpastian harga bahan baku petrokimia karena fluktuasi harga minyak global,” katanya.

Bahkan, pengenaan PPN bahan baku petrokimia yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen, berpotensi meningkatkan biaya modal. 

“Hal-hal yang sifatnya fiskal ini juga masih menjadi tantangan tersendiri ya buat industri petrokimia,” imbuhnya.

Heri menambahkan industri petrokimia menunjukan kinerja positif selama 2020-2023 yang berdampak pada penerimaan negara melalui pajak sebesar 112% dan penyerapan tenaga kerja yang tumbuh hingga 4% karena kebijakan HGBT.