Fintech dan Transformasi Industri Keuangan

Oleh : Yogie Maharesi | Selasa, 01 Agustus 2017 - 10:21 WIB

KLAUS Schwab dalam artikel "The Fourth Industrial Revolution: What It Means, How to Respond", menyatakan kita sedang berada dalam revolusi industri keempat yang ditandai dengan revolusi digital yang secara fundamental mengubah cara hidup, cara kerja dan cara berinteraksi satu sama lain. Revolusi digital mengubah wajah semua industri di seluruh negara.

 

Transformasi terjadi menyeluruh pada sistem produksi, manajemen dan tata kelola industri. Disruptive innovations bermunculan, yaitu berbagai inovasi baru yang berhasil mengubah, mengganti atau memperbaharui model bisnis, aturan main, struktur dan lingkungan kompetisi.

Imbasnya di sektor jasa keuangan mengemuka fenomena financial technology (fintech). PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam laporan "Financial Service Technology 2020 on Beyond: Embracing Disruption", menempatkan fintech sebagai tema kunci teratas. PwC mengungkapkan bahwa fintech akan mengarahkan industri jasa keuangan pada model bisnis baru.

Gelombang fintech tak terbendung. Fintech mewujud sebagai tren lahirnya perusahaan-perusahaan yang menyediakan teknologi untuk memfasilitasi layanan keuangan (startup) secara independen di luar lembaga keuangan konvensional. Siapa saja yang mampu berinovasi dengan menciptakan aplikasi baru layanan keuangan berbasis teknologi, maka serta merta menjadi pemain fintech. Pergeseran pun terjadi dari bank driven menjadi consumer driven, yang membuka ruang bagi sedemikian banyak pemain baru di sektor jasa keuangan.

Kini fintech menjadi isu dunia yang menyerap perhatian para pelaku ekonomi, khususnya di industri jasa keuangan. Hingga 2015, Silicon Valley Bank mencatat volume investasi pada fintech di dunia mencapai lebih dari US$12 miliar.

Merambah Indonesia

Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar besar bagi fintech. Menurut Indonesia's Fintech Association (IFA), jumlah pemain fintech di Indonesia tumbuh 78% pada tahun 2015-2016. Sampai November 2016, IFA mencatat sekitar 135 hingga 140 perusahaan startup yang terdata.

Kehadiran fintech di Indonesia diperkuat dengan momentum pertambahan jumlah middle-class and affluent consumer (MAC) yang diprediksi oleh Boston Consulting Group (BCG) akan melonjak dari 74 juta orang pada 2013, menjadi 141 juta orang pada 2020. MAC merupakan kelompok masyarakat yang secara sosial-ekonomi akan mulai menggunakan uangnya antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, kendaraan dan layanan keuangan.

Fintech disambut baik oleh pemerintah dan regulator. Presiden Joko Widodo berharap fintech dapat berperan untuk memfasilitasi pembiayaan usaha mikro dan mengkoneksikan kebutuhan pembiayaan usaha di berbagai penjuru tanah air, yang muaranya untuk meningkatkan inklusi keuangan. Perhatian besar pemerintah terhadap pentingnya peningkatan inklusi keuangan dapat dipahami karena merujuk pada hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016, diketahui Indeks Literasi Keuangan sebesar 29,66% dan Indeks Inklusi Keuangan sebesar 67,82%.

Adapun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang P.S. Brodjonegoro memaparkan tiga prioritas pembangunan yang dapat digerakkan melalui pemanfaatan fintech. Pertama, mobilisasi modal untuk meningkatkan aktivitas ekonomi kelompok masyarakat yang kurang terlayani, seperti Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan UKM. Kedua, mobilisasi dana yang ada di masyarakat untuk membiayai infrastruktur dasar seperti sanitasi dan listrik. Ketiga, mobilisasi dana untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, seperti pembiayaan inovasi penting untuk meningkatkan produksi pertanian dan perikanan.

Dari sisi regulator, OJK memandang teknologi informasi telah digunakan untuk mengembangkan industri keuangan dan dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi masyarakat. OJK juga mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan berbasis teknologi informasi sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Untuk itu OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau Peer-to-Peer (P2P) Lending, yang akan disusul dengan ketentuan lain terkait fintech agar regulasi kian jelas dan lengkap.

Pesatnya perkembangan fintech khususnya yang berbasis P2P Lending dapat dibaca dengan terdaftarnya tujuh perusahaan startup di OJK hingga semester I 2017. Sekitar 40 perusahaan startup tengah dalam proses pendaftaran. OJK menargetkan 50 perusahaan startup terdaftar pada akhir tahun 2017.

Menurut data OJK, kini terdapat 165 perusahaan startup di Indonesia. Sebanyak 17% di segmen P2P Lending, 43% di sistem pembayaran, dan sisanya berbentuk agregator, crowdfunding dan lainnya.

Dalam upaya memaksimalkan perkembangan fintech, OJK telah membentuk Fintech Innovation Hub. Inisiatif ini bertujuan antara lain untuk mengefektifkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, pengembangan industri fintech yang sesuai kebutuhan masyarakat, pengembangan model bisnis fintech yang baru dan potensial, serta penyediaan sarana komunikasi antara regulator dan industri fintech.

Kolaborasi

Industri keuangan harus terus berinovasi dalam mengembangkan teknologi, terlebih dengan massifnya perkembangan fintech sebagai pembiayaan alternatif di luar lembaga keuangan konvensional. Untuk itu kolaborasi antara industri keuangan dengan perusahaan startup perlu didorong. Kolaborasi merupakan faktor kunci dalam menciptakan nilai tambah fintech bagi pertumbuhan bisnis lembaga keuangan konvensional dan startup.

Kolaborasi yang penting adalah terkait pemanfaatan data yang dimiliki lembaga keuangan konvensional untuk mengembangkan solusi melalui inovasi fintech bersama perusahaan startup. Edukasi dan sosialisasi mengenai produk dan layanan fintech kepada masyarakat juga mendasar untuk dilakukan. Dengan berkolaborasi, ekspansi pemanfaatan fintech bagi masyarakat luas kian bernilai guna dan berdampak signifikan dalam menggerakkan perekonomian hingga ke lapisan bawah.

Akhirnya untuk merespon perkembangan fintech dan era digital secara luas, industri keuangan harus adaptif. Industri keuangan perlu menyiapkan strategi jangka panjang, inovasi dan kolaborasi untuk menciptakan pertumbuhan bisnis melalui teknologi digital. McKinsey&Company menyebutkan lembaga keuangan akan mengalami penurunan profit 20% hingga 60% pada tahun 2025, jika gagal berinovasi secara digital. Sebuah early warning yang penting untuk diindahkan.

Yogie Maharesi

Staf Departemen Komunikasi dan Internasional Otoritas Jasa Keuangan

(Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan OJK)