Ekonomi Biru, Jadikan Laut Masa Depan, Karena Hidup Tak Cuma Tentang Hari Ini
INDUSTRY.co.id, Jakarta-Pua, Nelayan berusia paruh baya yang kerap menjala ikan di Perairan Laut Sawu, Manggarai Timur, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengeluh soal hasil ikan tangkapannya yang selalu sedikit setiap kali melaut.
“Ya saya dayung sampan, mencari ikang (ikan-red). Kadang dapat kadang tidak e. Supaya Bung di situ tahu saja, sekarang ini kami harus lebih jauh ke dalam mencari ikang pake jala tradisional. Berjam-jam kami dayung sampan, tapi hasilnya sedikit sekali-kah. Seperti ikang tembang, tongkol. Dulu ada kombong, ekor kuning, kini tak ada, sudah pada lari. Padahal dulu toh, dalam sejam saja sudah belasan bahkan puluhan kilo kami dapat ikang tembang. Sekarang ini e ikang semakin susah kami dapat. Ya sering pulang dengan tangan kosong, tidak membawa hasil. Beginilah nasib kami. Dari dulu begini begini saja,”ujar lelaki yang mengaku masih keturunan Bugis, itu, dalam sebuah obrolan santai di Pantai Cepi Watu Borong, Manggarai Timur.
Ayah lima anak itu, secara terus terang, mengaku tidak sanggup membiayai anak-anaknya ke bangku kuliah karena kesulitan biaya. Ia juga menyinggung soal nasib para nelayan lain di daerahnya yang kerja sekadar cari duit buat hari ini saja. Pua berharap agar pemerintah harus mulai serius memikirkan Nasib nelayan.
“Begini ya, kami tangkap, langsung jual kepada pembeli yang sudah nunggu di bibir Pantai. Saya juga sering berpikir, kenapa ikang sulit didapat. Mungkin perlu alat atau kapal khusus buat nangkap ikan agar banyak dan bisa langsung jual ke pabrik ikang kaleng, itu bagus sekali kalau ada pabriknya di sini, “ujarnya penuh harap.
Pua, hanyalah salah satu contoh dari jutaan nelayan di negeri ini yang hidupnya bergantung pada hasil laut, namun panenan ikan mereka dapat sekadar buat hidup hari ini. Mata pencarian di sektor laut yang mereka andalkan secara turun temurun, masih belum mampu, mengangkat ekonomi keluarganya. Bahkan cari duit dari sektor laut mulai tergerus oleh kondisi laut yang tidak lagi bersahabat.
Padahal sejak dulu, selalu disebut-sebut, hampir separuh potensi perikanan tangkap nasional berada di wilayah timur Indonesia, seperti wilayah Papua, Kepulauan Maluku, termasuk kepulauan Flores. Masa kecil Pua pun masih mengalami kejayaan dalam panen ikan di wilayah perairannya.
Agak sulit mencari kambing hitam. Pua hanya mereka-reka, dengan menyebut faktor cuaca atau mata rantai makanan yang menjadi makanan dari biota laut sudah mulai berkurang atau hilang. Kadang, Pua juga mengikuti perkataan Nelayan lainnya bahwa, ikan makin sulit dicari, karena semakin banyak kapal besar yang mencari ikan di perairan sekitar wilayahnya atau ada kapal pencuri ikan. “Mungkin mereka punya alat canggih sehingga ikang tak ada lagi yang mendekat ke pesisir,”ujarnya dengan dialek Flores pesisir.
Apapun yang terjadi saat ini, kata Pua, Nelayan kecil menjadi pihak yang paling terpukul. Nelayan kecil dan tradisional seperti Pua, sangat merasakan dampaknya.
Karena mereka harus melaut lebih jauh mencari ikan. Kadang juga pake motor yang menbuang banyak bahan bakar namum tidak seimbang dengan hasil yang didapat. Jenis ikan yang dulu lebih dekat dan gampang diperoleh kini semakin sulit diperoleh. Ikan nyaris tak pernah terlihat lagi di perairan dekat wilayahnya.
Nasib Nelayan seperti Pua bak tikus mati di lumbung padi. Padahal selama ini, kita selalu banggakan Indonesia sebagai negara maritim dengan kepulauan terbesar di dunia. Sekitar tiga per empat wilayahnya berupa laut seluas 5,8 juta km 2 yang mempersatukan lebih dari 17.500 pulau dengan 81.000 km garis pantai, terpanjang kedua setelah Kanada.
Dalam wilayah pesisir dan lautan itu terdapat potensi berbagai SDA dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar, yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal.
Seperti pernah dikatakan Guru Besar Manajemen Pembangunan Kelautan IPB, Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS, bahwa ada 11 sektor ekonomi kelautan Indonesia yang dapat dikembangkan, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional.
Mencengangkan, sumberdaya kelautan dan perikanan juga disebut mempunyai potensi ekonomi mencapai USD800 miliar (Rp10.800 triliun) per tahun dan dapat menyediakan kesempatan kerja sekitar 40 juta orang. Namun, potensi yang luar biasa itu sekitar 80% sumberdaya keluatan dan perikanan itu belum terjamah atau karena selama ini kita salah Kelola.
Menaruh Asa di Ekonomi Biru
Dibawa nakhoda Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, serangkaian jurus dikeluarkan untuk masa depan laut yang bisa menjadi lokomotif kehidupan bangsa. Harapan besarnya, potensi laut yang besar ini bisa menjadi sumber kesejahteraan rakyat terutama nelayan.
Harapan itu memang ada di Program Ekonomi Biru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Program ini, diyakini, membawa Indonesia siap memasuki era baru pengelolaan sumber daya laut dan pesisir yang menjanjikan dengan keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan kebutuhan ekologi
Dari sekumpulan paparan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, menyebutkan, bahwa Ekonomi biru akan menghasilkan manfaat yang banyak. Utamanya untuk masyarakat yang tinggal di pesisir. Mereka akan mendapat kesempatan sangat besar untuk mendorong kehidupannya hingga bisa mencapai kesejahteraan.
Optimisme Sang Menteri bisa saja tercapai. Apalagi beberapa aksi nyata program telah digaungkan oleh pemerintah melalui KKP.
Pemerintah kini berpihak dan telah hadir secara penuh memperhatikan nelayan kecil yang ada di pesisir. Karena pekerja di sektor kelautan adalah pemeran utama dalam setiap kebijakan yang berbasis prinsip ekonomi biru.
Setidaknya asa itu mulai terjawab dengan adanya pembangunan Kampung Nelayan Modern (Kalamo) Samber-Binyeri yang sudah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 November 2023. Kehadiran Kampung Nelayan ini sungguh memotivasi nelayan Papua karena hadir dengan dilengkapi segudang fasilitas perikanan dan SPBU khusus nelayan dan berbagai infrastruktur penunjang lainnya seperti cold storage.
" Terima kasih sekali buat Bapak Presiden dan juga dinas perikanan pusat karena ini sudah terpenuhi, dari dinas mengenai cold storage, ruang pembeku dan juga fasilitas penunjang yang lain," ucap Yaufiki, nelayan setempat.
Mengutip keterangan KKP, bahwa Kalamo Desa Samber-Binyeri menjadi lokasi percontohan karena memiliki lokasi yang strategis. Berada di pesisir WPPNRI 717 yang berbatasan dengan Laut Pasifik, menjadikan desa ini sebagai penghasil tuna yang sangat potensial.
Itulah salah satu aksi nyata dari Program Ekonomi Biru. Dengan potensi laut yang besar, maka laut itu pulalah yang merupakan identitas dan kunci bagi kesejahteraan Indonesia.
KKP dibawah kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono telah menyiapkan roadmap lima program prioritas yang berlandaskan ekologi. (1). Tentang perluasan kawasan konservasi laut sebanyak 30 persen yang ditargetkan tercapai pada 2045. (2), Yaitu penangkapan ikan terukur (PIT) yang berbasis kuota di enam zona penangkapan ikan dari wilayah barat sampai timur Indonesia. (3), Menetapkan lima unggulan komoditas yang terus dikembangkan yaitu udang, lobster, kepiting, rumput laut, dan ikan nila di sejumlah wilayah strategis. (4). Pengembangan wilayah pesisir. (5), Pengurangan sampah plastik di laut.
Dari serangkaian program ini disadari bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, menempati peringkat kedua sebagai negara dengan sektor perikanan terbesar di dunia setelah Tiongkok, dengan kontribusi sebesar US$27 miliar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan 7 juta lapangan pekerjaan.
Disadari bahwa laut berperan penting dalam mencegah dampak bencana alam. Terumbu karang dan mangrove mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh banjir dan tsunami terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Perlindungan yang diberikan oleh terumbu karang dan mangrove ini bernilai setidaknya US$639 juta per tahun.
Sebagai negara kepulauan, pengelolaan kelautan dan perikanan berbasis hak untuk nelayan dan pelaku usaha menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah Indonesia. Penerapan ekonomi biru berbasis hak untuk nelayan kecil, menjadi contoh konkret keseriusan pemerintah menjaga ekosistemnya secara terus-menerus dengan melibatkan banyak stakeholder.
Jadi, kolaborasi nelayan dengan pelaku usaha melalui penguatan tata kelola dan kelembagaan wilayah pengelolaan perikanan (WPP), berbasis platform multi pemangku kepentingan perikanan atau fisheries multi-stakeholder platform (FMSP) adalah salah satu solusi untuk meningkatkan pencapaian dalam strategi penerapan ekonomi biru. Mari kita dukung progran Ekonomi Biru, jadikan laut masa depan, Karena hidup tak cuma tentang hari ini.Semoga. Kormensius barus.