Meringis Kesakitan, Industri Alas Kaki PHK 25.700 Pekerja
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Kondisi industri alas kaki Tanah Air sedang tidak baik-baik saja saat ini. Perlambatan ekonomi global, tingginya inflasi hingga perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung usai menjadi "biang kerok" melemahnya kinerja ekspor industri alas kaki.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) tak bisa terhindarkan. 25.700 pekerja di PHK imbas penurunan permintaan produk alas kaki secara global.
"Pemerintah sedikit terlambat menyadari bahwa saat ini sudah ada 25.700 karyawan yang di PHK untuk industri alas kaki khusus orientasi ekspor," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakri saat dihubungi di Jakarta (8/11).
Dirinya menyebut potensi PHK masih sangat besar. Pasalnya, hingga saat ini pabrik masih tetap berproduksi dalam kapasitas normal, sementara order semakin menipis.
"Kami khawatir nanti pada akhir tahun atau awal tahun 2023 bisa saja terjadi PHK besar-besaran, karena kapasitas yang turun cukup besar," terangnya.
Dijelaskan Firman saat ini peritel maupun brand di tujuan ekspor sedang memegang inventori atau stok yang cukup besar.
"Sehingga ketika masing-masing brand memegang stok cukup besar, ya sudah pasti sampai semester I-2023 penurunan demand sangat luar biasa, perkiraan sampai 50%," kata Firman.
Belajar dari pengalaman pada April 2020 ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Tanah Air, diperlukan waktu lebih dari 1 tahun bagi brand-brand alas kaki untuk menghabiskan stok lama dan mulai melakukan pesanan kembali.
"Kami khawatir ini juga akan sama ketika masing-masing brand sedang pegang inventori. Kekhawatiran kami kemungkinan bisa sampai 1 tahun, baik itu ekonomi sudah pulih atau belum. Yang pasti untuk mengurangkan stok butuh proses," tuturnya.
Namun disisi lain, lanjut Firman, ekspor industri alas kaki masih menunjukkan kinerja positif. Berdasarkan data Aprisindo, September 2022, ekspor industri alas kaki mencapai 35%.
"Beberapa pabrik masih produksi sampai Desember. Saya rasa secara statistik kita masih bisa tumbuh positif atau lebih tinggi dari tahun kemarin, bahkan bisa lebih dari 20%. Ini menjadi kondisi yang kontradiktif, disatu sisi ekspor kita tetap tumbuh, tetapi di sisi lain sudah ada PHK," papar Firman.
Firman menyebut secara kauntitas, pasar dalam negeri cukup besar mencapai 70-75%, sedangkan sisanya 25% untuk ekspor. Akan tetapi secara value, pasar ekspor jauh mendominasi sebesar 75%.
"Sebagian besar yang kita eskpor itu brand besar jadi valuenya luar biasa, sementara untuk produk lokal kita itu variasinya sangat banyak dan panjang mulai dari sandal jepit sampai sepatu murah. Jadi secara value produk yang kita eskpor lebih mahal dari pasar lokal," papar Firman.
Dengan kondisi yang tidak baik-baik saja saat ini, pelaku industri alas kaki memerlukan fleksibilitas kebijakan dari pemerintah. Terutama, untuk industri alas kaki berorientasi ekspor dengan beban tenaga kerja yang besar.
Menurutnya, ketika terjadi penurunan demand, industri butuh fleksibilitas, karena opsinya hanya ada dua yaitu PHK atau pertahankan dengan tetap memberikan gaji secara normal.
"Untuk industri padat karya itu sesuatu yang tidak mungkin. Berat sekali," ucap Firman.
Adapun fleksibilitas yang dibutuhkan industri alas kaki saat ini yaitu salah satunya pengurangan jam kerja dari 40 jam per minggu menjadi 30 jam per minggu.
"Ini supaya industri kita bisa meminimalisir PHK. Itu kan kebijakan atau fleksibilitas yang kita perlukan secara temporer selama ketidakpastian ini berlangsung. Dan kita harus evaluasi terus secara berkala," tutupnya.