Mantan Napi Seharusnya Tidak Dipilih Menjadi Pejabat Publik

Oleh : Herry Barus | Senin, 10 Januari 2022 - 11:40 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta -Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah menyandang status pidana alias pernah mendapatkan hukuman 1 bulan hingga kurang dari 4 tahun penjara dan sudah  berkekuatan hukum tetap atau inkrah, secara moral dan kepantasan sudah tidak pantas menduduki jabatan struktural. DIlihat dari kacamata moral, tidak boleh lagi menduduki jabatan struktural apalagi di tempat yang sangat strategis seperti Sekretaris Daerah  (Sekda) atau yang lainnya. Dengan adanya status narapidana, meski telah dijalaninya, maka hukuman pidana sekian bulan itu telah menghambat karir politiknya sekaligus akan menyulitkan dirinya dalam menjalankan tugas tugasnya di kemudian hari.

Hal tersebut disampaikan Pengamat kebijakan publik yang juga direktur Public Trust Institute (PTI)  Hilmi R Ibrahim, kepada pers di Jakarta ( 10/1/2022). Pendapat tersebut disampaikan Hilmi R Ibrahim, menjawab pertanyaan atau polemik di  masyarakat berkaitan masih adanya pejabat yang berstatus atau pernah berstatus narapidana mengikuti seleksi terbuka sebagai sekretaris daerah (Sekda) maupun kepala dinas di beberapa provinsi dan Kota atau Kabupaten.  Termasuk di salah satu Provinsi di Kalimantan.

“Jika hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum tetapnya, 4 tahun atau lebih, maka pejabat yang bersangkutan akan dicabut statusnya sebagai pegawai negeri sipil atau PNS maupun Aparatur Sipil Negara atau ASN. Namun kalau hukumannya di bawah 4 tahun, misalnya 3 tahun atau bahkan hanya tiga bulan.  Pejabat tersebut tidak dipecat. Haknya sebagai PNS maupun ASN dikembalikan. Karena hukuman penjara yang telah dijalaninya itu mengembalikan hak dia sebagai PNS atau ASN” papar Hilmi R Ibrahim.

Lebih lanjut pakar  Kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu menjelaskan, seorang pejabat publik harus menceminkan sebagai panutan.  Tidak boleh tercela . Dia tidak boleh cacat moralnya. Namun demikian hukuman yang telah dijalaninya itu tidak boleh membatasi hak dia untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik atau menduduki posisi tertentu. Kalau dia dibatasi atau dilarang mengikuti lelang jabatan tertentu itu tidak boleh. Pelarangan itu melanggar hak azasi manusia (HAM).

“Setiap pemilihan jabatan struktural apalagi eselon 1 dan 2 itu ada panitia seleksinya atau Pansel. Nah Panselnya itu harusnya memilih calon yang tidak bermasalah dengan hukum.  Namun demikian tidak boleh juga melarang calon yang pernah memiliki status nara pidana. Hukuman yang pernah dijalani oleh salah seorang calon, hanya untuk catatan Pansel. Agar Pansel memilih yang tidak memiliki cacat hukum atau memilih yang belum pernah mendapatkan hukuman. Tapi tidak boleh menggugurkan dia sebagai calon. Semuanya itu ada di peraturan Menteri Dalam Negeri” papar Hilmi Rahman Ibrahim.

Lebih lanjut, mantan direktur pengelola Kawasan Gelola Bung Karno ini memaparkan, seorang calon pejabat eselon 2 atau 1 yang pernah menjalani hukuman di atas satu bulan dan di bawah 4 tahun, secara hukum tidak memiliki masalah untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik. Namun secara moral dan kepantasan, tidak pantas. Masih banyak calon calon yang bersih dari catatan catatan hukum.

Hilmi Rahman Ibrahim memberikan solusi jika dalam seleksi  pejabat publik setingkat eselon satu dan dua baik di tingkat pusat maupun daerah, terdapat salah satu calon yang pernah menyandang status nara pidana. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah Pansel menggunakan hak subyektifitasnya untuk memillih atau membatalkan calon yang punya masalah hukum.

“Selain itu, biasanya di setiap seleksi pejabat publik membuka keran dan suara serta pendapat masyarakat untuk memberikan masukan atau tanggapan terhadap calon calon yang ikut serta dalan proses seleksi tersebut. Masukan dan pendapat masyarakat akan moral dan kelakuan calon peserta lelang jabatan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan salah satu calon,” papar Hilmi Rahman Ibrahim.

Menurut Hilmi Rahman Ibrahim, dapat dibayangkan, jika pejabat yang diloloskan Pansel adalah pejabat yang paling banyak mendapatkan masukan dan penilaian buruk dari masyarakat. Bagaimana pejabat tersebut menjalankan tugas dan pekerjaannya, kalau secara moral dia cacat dan mendapatkan penilaian atau pendapat buruk dari masyarakat. Hal ini akan mengganggu pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan publik.

“Nara pidana 4 bulan itu perbuatan tercela.  Secara moral kasihan pejabatnya. Hanya akan menjadi olok olokan kalau dipilih. Mestinya itu digunakan oleh Pansel untuk tidak memilihnya. kalau saya Panselnya, catatan hukum pernah dihukum 4 bulan penjara itu, saya pertimbangkan  untuk tidak meloloskan. Tapi pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya itu tidak boleh melarang dia ikut serta dalam proses seleksi. Hanya ada sangsi moral. Selain itu untuk keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan krdibel serta transoaran, Pansel harus mempertimbangkan, apakah pejabat yang diloloskan,  akan memberatkan yang bersangkutan atau tidak jika terpilih. Sebab pejabat yang bersangkutan akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat juga mengganggu citra pemerintahan secara keseluruhan.  Mengingat secara moral bermasalah,” tegas Hilmi Rahman Ibrahim