Hasrat Pertamina Eksis di Jambaran Tiung Biru
Oleh : Dhiyan W Wibowo | Rabu, 03 Mei 2017 - 15:05 WIB
Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (suarabojonegoro)
INDUSTRY.co.id - Anak usaha perusahaan minyak dan gas nasional PT Pertamina yang kini bekerja sama dengan ExxonMobil di lapangan migas Cepu, PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi Cepu (Pertamina EP Cepu/PEPC), menyatakan keinginannya untuk mengambil alih pengembangan lapangan migas Jambaran Tiung Biru (JTB).
Keinginan perusahaan untuk mengambil alih disampaikan langsung oleh Direktur Utama Pertamina EP Cepu, Adriansyah.
Menurutnya saat ini pihaknya tengah melakukan negosiasi intensif dengan ExxonMobil, yang diharapkan rampung pada Mei 2017. Begitu negosiasi tersebut bisa dituntaskan pada Mei tahun ini, Pertamina EP Cepu diharapkan bisa segera mengeksekusi pengembangan lapangan tersebut secara penuh.
"Kami sudah menandatangani interim agreement pada Maret 2017, saat ini masa transisi sudah mulai berjalan. Kita tidak mau mundur, untuk menghindari potential loss selama kontrak," kata Adriansyah dalam pernyataannya yang sampai ke redaksi baru-baru ini.
Adriansyah mengemukakan, negosiasi yang tengah dilakukan perusahaan dengan ExxonMobil merupakan tindak lanjut surat Menteri ESDM nomor 9/13/MEM.M/2017 tertanggal 3 Januari 2017 yang memerintahkan Pertamina untuk mengembangkan secara penuh lapangan JTB dan menyelesaikan perbahasan dengan ExxonMobil secara business to business (B to B).
Diakui Ardiansyah, saat ini masih ada permasalahan yang harus dituntaskan antara Pertamina EP Cepu dan Exxon, namun demikian ia menegaskan bahwa alih kelola JTB ini terkait dengan pengembangan lapangan gas yang diandalkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur tetap ditargetkan selesai Mei 2017.
“Setelah negosiasi tuntas, diharapkan 2020 sudah dapat berproduksi. Saat ini Pengembangan Lapangan JTB sedang dalam pelaksanaan EPC Early Civil Work (ECW),” ujarnya.
Di Blok Cepu ini Pertamina EP Cepu memiliki saham 45%, sisanya 24,5% dimiliki Ampolex, lalu 20,5% dimiliki ExxonMobil dan sebesar 10% dimiliki perusahaan milik pemerintah daerah.
Di tengah harga minyak cenderung menurun, produksi Banyu Urip kini menjadi andalan untuk menopang produksi nasional. Pada tahun 2017 ditargetkan produksinya mencapai 200.000 barel per hari (BOPD).
Yang menarik, kata Ardiansyah, sebelum mencapai produksi puncak, kata Adriansyah, pada saat harga minyak di atas 100 dollar (AS) per barel, lapangan Banyu Urip yang dioperasikan oleh ExxonMobil sudah mampu melakukan produksi untuk menopang kinerja Pertamina.
"Meski produksinya masih kecil, tetapi sudah ikut menyumbang kinerja finansial perusahaan, tetapi yang lebih penting dapat membuktikan sebagai mitra yang aktif bagi ExxonMobil," paparnya.
Sebelumnya diberitakan pemerintah memutuskan untuk tidak memberikan insentif dalam pengembangan lapangan Jambaran-Tiung Biru, kendati kontraktor berharap insentif bisa diberikan agar keekonomian proyek tersebut dapat tercapai. Disampaikan Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah, pemerintah memiliki pertimbangan berbeda yang akhirnya memutuskan untuk tidak memberikan insentif.
"Mungkin karena tingkat pengembalian investasi (IRR) yang diminta kontraktor terlalu tinggi," katanya seperti dilansir Katadata medio Januari lalu (12/1). Kontraktor, kata Adriansyah, menginginkan tingkat pengembalian investasi (Internal rate of return/IRR) sekitar 16%. Bebeda dengan pemerintah yang menawarkan IRR untuk proyek tersebut di kisaran 12-13% per tahun.
Pihak pemerintah berpendapat bahwa IRR di atas 11% sudah dinilai ekonomis untuk mengembangkan Tiung Biru. Sehingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belakangan hanya menyetujui IRR di Lapangan Tiung Biru sebesar 12-13%.
Namun demikian Adriansyah menyatakan bahwa Pertamina selaku kontraktor bersama mitranya di Cepu dalam hal ini ExxonMobil, tetap siap mengembangkan Lapangan Tiung Biru kendati zonder insentif.
Ia menyatakan, pihaknya berupaya agar proyek tersebut tetap berjalan dengan target pembangunan awal Lapangan Tiung Biru bisa segera dimulai pada semester pertama tahun ini.
Sejatinya, pihak pemerintah pernah menawarkan tiga insentif untuk pengembangan Lapangan Jambaran-Tiung Biru.
Insentif pertama adalah pemberian investment credit atau tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi. Berikutnya adalah skema bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor di Lapangan Tiung Biru, diimana dikehendaki kontraktor agar bagian kontraktor di Blok Cepu akan lebih besar dari pemerintah.
Insentif ketiga yang pernah ditawarkan pemerintah adalah mengkaji pemberlakukan cost recovery di Lapangan Tiung Biru.
Sejauh ini, Pertamina EP Cepu belum bisa melaksanakan proses produksi di lapangan tersebut, kendati telah menetapkan pemenang tender untuk rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) fasilitas pengolahan gas (GPF) di Jambaran Tiung Biru. PEPC, kata Adriansyah, masih menunggu persetujuan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Proses produksi juga beum bisa dilakukan mengingat belum ada kata definitif siapa konsumen yang akan menyerap porduk gas dari lapangan ini. Awalnya, pemerintah telah mengalokasikan gas dari Jambaran Tiung Biru kepada Pertamina dan PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC).
Sebanyak 46,5% atau 80 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas Lapangan Jambaran Tiung Biru dialokasikan untuk PKC, karena anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero) ini sedang membangun pabrik pupuk di Bojonegoro, Jawa Timur, yang dipastikan membutuhkan pasokan gas untuk bisa beroperasi.
Belakangan diketahui pembangunan pabrik pupuk ini diproyeksikan akan molor, sehingga pihak Pertamina EP Cepu khawatir PKC tidak dapat menyerap gas yang diproduksi dari Jambaran Tiung Biru, yang pada ujungnya Joint Venture (JV) ExxonMobil Cepu dan PEPC bisa mengalami kerugian.
Selain itu, rencana alokasi gas untuk PKC dipastikan batal, akibat harga yang ditawarkan kepada perusahaan pupuk tersebut dianggap terlalu mahal, yaitu sebesar US$ 8 eskalasi dua persen per juta british thermal units (mmbtu). Sementara PKC menginginkan harga gas di kisaran US$ 7 per mmbtu.
Untuk mengantisipasi potensi kerugian jika tidak dipastikan konsumen dari pasokan gas tersebut, mendesak pemerintah untuk segera memutuskan realokasi gas yang seharusnya untuk PKC, diberikan sepenuhnya kepada PT Pertamina persero, induk usaha dari PT Pertamina EP Cepu.
Sedikit informasi, fasilitas pengolahan gas di Lapangan Jambaran Tiung Biru berkapasitas 315 mmscfd. Namun, karena gas dari lapangan tersebut mengandung karbondioksida (CO2) sebesar 35%, maka gas yang bisa terjual hanya 172 mmscfd.
Apabila keseluruhan gas tersebut dapat terjual, maka, akan menambah pendapatan negara sebesar US$ 6 miliar. ExxonMobil beserta PEPC telah mengeluarkan investasi sebesar US$ 2,1 miliar untuk memproduksi gas dari Jambaran Tiung Biru.
Diharapkan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) bisa segera diteken agar target operasi Lapangan Jambaran Tiung Biru pada tahun 2020 bisa terealisasi.
Adapun tender pengadaan rekayasa dan konstruksi (engineering, procurement, and construction) fasilitas pengolahan gas lapangan Jambaran Tiung Biru telah dimenangkan oleh dua konsorsium yakni PT Rekayasa Industri (Rekind) dan PT Japan Gas Corporation (JGC).
Proyek gas JTB berada di atas lahan sekitar 143 hektare. Perinciannya sekitar 100 hektare untuk jalur pipa dan tapak sumur. Sedangkan selebihnya dipakai untuk prasarana lain.
Lapangan JTB ditargetkan mulai produksi sebesar 227 juta kaki kubik gas bumi per hari pada kuartal pertama 2019 dan mencapai puncak produksi sebesar 315 MMSCFD pada 2020. Sedangkan, cadangan gas bumi lapangan JTB diperkirakan mencapai 12 juta kaki kubik.
Komentar Berita