Hadapi Dinamika Geopolitik, Pemerintah Harus Mampu Satukan Kekuatan Nasional
Oleh : Ridwan | Sabtu, 20 Oktober 2018 - 14:35 WIB
Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia, Budi Susilo Soepandji saat menjadi pembicara dalam rangka Dies Natalis ke-94 FHUI
INDUSTRY.co.id - Jakarta, Negara-negara di dunia kini tengah menghadapi krisis ekonomi tek terkecuali Indonesia. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok digadang-gadang menjadi akar penyebab terjadinya krisis ekonomi di dunia.
Menghadapi kondisi ini, pengambil kebijakan suatu negara harus mampu mengkonsolidasikan dengan kekuatan nasional guna menghadapi kompleksitas dinamika geopolitik.
Hal tersebut disampaikan oleh mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia, Budi Susilo Soepandji pada saat diskusi ilmiah bertopik, "Stabilitas Tata Negara dalam Tantangan Ekonomi Terkini" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok (18/10/2018) kemarin.
Selain Budi Susilo Soepandji, diskusi kali ini juga menghadirkan pakar Hukum Tata Negara serta Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jimly Asshiddiqie, dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi.
Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis ke-94 FHUI, yang merupakan kelanjutan dari Rechtshoogeschool te Batavia, perguruan tinggi hukum pertama di bumi Nusantara.
"Kalangan kampus yaitu dosen dan mahasiswa harus mengingatkan pembuat kebijakan, bahwa keputusan yang berubah-ubah akan mengakibatkan suasana yang tidak menentu. Dan ini berpotensi menimbulkan krisis," kata Budi Susilo.
Ditambahkan Budi, saat ini dunia internasional masih memuji kondisi ekonomi Indonesia. Akan tetapi, Indonesia tetap tidak boleh lengah karena ada pelajaran penting dari sejarah di bumi Nusantara.
"Di masa lalu, Hindia Belanda merupakan kekuatan ekonomi nomor 10 di dunia. Akan tetapi, Hindia Belanda yang memiliki sistem politik yang menjajah, lengah terhadap ancaman konflik Jepang dengan kekuatan Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, hal tersebut memberikan momentum perjuangan bagi kaum nasionalis," tambahnya.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie mengingatkan pentingnya memahami hukum tata negara dalam keadaan darurat, sehingga tidak timbul kebingungan di berbagai kalangan.
Jimly mencontohkan, saat terjadinya bencana gempa bumi di Palu terjadi kontroversi tentang perlu tidaknya bencana di tempat itu dinyatakan sebagai bencana nasional.
Menurut Jimly, hal itu tidak perlu terjadi karena Indonesia sudah mempunyai undang-undang tersendiri yang mengatur keadaan darurat. Dalam hal ini, berdasarkan undang-undang tersebut, bencana alam dikategorikan sebagai keadaan darurat sipil.
"Akan tetapi, yang berhak menentukan suatu keadaan darurat atau tidak adalah presiden. Presiden boleh menyatakan darurat, sebagai kepala negara.", kata Jimly.
Lebih lanjut, Jimly mengungkapkan, hukum normal tidak dapat diterapkan dalam keadaan darurat. Demikian pula sebaliknya, hukum darurat tidak dapat diterapkan dalam keadaan normal.
"Itu tidak adil," tegas Jimly yang juga telah menulis buku Hukum Tata Negara Darurat.
Disisi lain, Fithra Faisal Hastiadi menekankan agar Indonesia mewaspadai perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
"Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo mengenai film Game of Thrones, semua akan terkena imbas," lanjut Fithra.
Dalam konteks ancaman krisis ekonomi, Fithra mengingatkan bahwa depresiasi rupiah sebenarnya hanya merupakan simtom. Sedangkan akar permasalahannya terletak pada neraca perdagangan yang tidak seimbang dengan impor yang lebih tinggi dari pada ekspor.
Komentar Berita